Mohon tunggu...
Thonthowi Dj
Thonthowi Dj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Networker

Pengelana dunia maya. Pekerja kreatif. networker. communications specialist.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dana Haram untuk CSR?

22 Maret 2016   17:29 Diperbarui: 22 Maret 2016   17:42 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

*Artikel telah dimuat di*

Pekan lalu saya sempat mendapat link berita tentang permintaan Paus Fransiskus agar gereja menolak dana hasil korupsi dan tindak kriminal lainnya. Pemimpin gereja Katolik asal Argentina tersebut sudah berulang kali mengecam orang-orang yang memperoleh keuntungan dari perbudakan, korupsi atau eksploitasi termasuk kecaman terhadap mafia mulai dari Italia hingga Meksiko.

Link berita dari sebuah grup whatsaap ini, saya bagikan ke grup WA lainnya. Membagikan informasi dari grup ke grup lain, sudah menjadi kebiasaan di era digital ini bukan? . Nah, kemudian ramailah tanggapan terhadap link berita tersebut. Salah satu yang menarik adalah komentar, bahwa dana yang diberikan kepada rumah ibadah bisa jadi  dalam bentuk aktitivas CSR (corporate social responsibility), sebuah korporasi.  Namun, sebenarnya itu hasil dana haram

Dana CSR dari uang haram? Saya pun menjadi tergelitik. Selama ini, memang banyak sekali dana CSR yang ditujukan untuk membantu pendirian atau pun renovasi rumah ibadah, ataupun tujuan mulia lainnya. Namun, apakah itu memang  dana haram? Bukankah dana CSR sering digambarkan adalah dana yang yang disisihkan dari keuntungan perusahaan, untuk membantu masyarakat di tempat perusahaan beroperasi? 

Rupanya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memang pernah mengingatkan tentang asal dana CSR ini.  Mantan Kepala PPATK Yunus Husein yang pernah melontarkannya.  Yunus pernah mendapati perguruan tinggi penerima CSR yang belakangan diketahui bahwa perusahaan pemberi bermasalah dengan pajak. Hanya saja, sebagai pejabat PPATK Yunus tentu tak mau mengungkapkan nama perusahaan dan perguruan tinggi tersebut.

Dia menyarankan penerima dana CSR untuk meminta transparansi asal-muasal dana. Hal ini penting, agar jangan sampai manfaat dana CSR ini terhenti di tengah jalan, lantaran perusahaan yang memberikannya terbukti bermasalah.

Misalnya, dana CSR untuk beasiswa atau penelitian di perguruan tinggi telah terpakai. Belakangan asupan dana menjadi terhenti lantaran perusahaan pemberi dana terseret kasus hukum. Karena itu, jika sudah melihat ada indikasi bahwa pemberi bantuan bermasalah dengan hukum, lebih baik penerima CSR menghindarinya.

Rupanya kaitan korupsi dengan CSR ini juga menjadi perhatian di Amerika Serikat. Awal Maret ini, Harry G. Broadman, seorang konsultan strategi bisnis global, menyoroti inisiatif CSR yang dilakukan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang industri ekstraktif sumber daya alam.

Dalam kolomnya yang dimuat forbes.com Broadman menuding, US SEC (Securities and Exchange Commission - Komisi Pengawas Sekuritas dan Pasar Modal AS), berupaya untuk menutup mata terhadap kelakukan perusahaan tambang dalam menjalankan aktivitas CSR di negara berkembang. Dasarnya, baru-baru ini lembaga pengawas korporasi ini mengusulkan aturan baru yang secara eksplisit mengizinkan industri ektraksif sumber daya alam untuk tidak mempublikasi dana yang dikeluarkan untuk CSR di negara berkembang.

Usulan ini adalah paradoks, mengingat SEC sebelumnya sering menerapkan UU Anti Korupsi bagi perusahaan-perusaan AS yang beroperasi di luar negeri (Foreign Corrupt Practices Act- FCPA), untuk mengawasi program CSR. Penerapan UU tersebut dilakukan lantaran program CSR tak jarang dipakai untuk "melayani keinginan" pejabat negara berkembang. Padahal, layanan dalam bentuk bantuan itu dapat dibilang sebagai sogokan kepada pejabat setempat, untuk memenangkan persaingan bisnis dengan korporasi lain.

Broadman lantas mencontohkan penyeledikan SEC terhadap Hyperdynamics Corporation. Penyelidikan fokus terhadap apakah aktivitas perusahaan ini untuk mendapatkan konsesi tambang di Guyana, Afrika. SEC mencurigai, konsesi didapat setelah Hyperdynamics mengucurkan bantuan ke sebuah organisasi setempat. Tahun lalu, Hyperdynamics terkena penalty dan membayar US$12 juta atau lebih dari Rp140 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun