Mohon tunggu...
Thomson Cyrus
Thomson Cyrus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, blogger, vlogger

Untuk Kerjasama, Bisa hub Kontak Email : thomsoncyrus74@gmail.com DM IG : @thomsoncyrus74

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

AHY Sebaiknya Jangan Diangkat sebagai Menteri Jokowi-Ma'ruf Amin

15 Oktober 2019   12:25 Diperbarui: 18 Oktober 2019   14:10 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pelantikan Jokowi sebagai Presiden terpilih untuk kedua kalinya bersama pasangannya KH. Maruf Amin pada tanggal 20 oktober 2019 ini, politik semakin cair. Presiden Jokowi melakukan pertemuan estafet dengan berbagai tokoh politik negeri ini.

Minggu yang lalu Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden RI keenam yang sekaligus Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan yang berlangsung di Istana Negara ini, sudah barang tentu membicarakan perkembangan terkini situasi politik bangsa ini. 

Di samping itu, mereka berdua pasti bertukar pikiran tentang berbagai hal, dalam mencari solusi permasalahan yang dialami Bangsa ini. Karena masing-masing sudah punya pengalaman dan tentunya juga punya pandangan yang berbeda. Saling mendengarkan dan saling memberi solusi untuk mengatasi permasalahan bangsa ini, tentulah itu yang menjadi salah satu pokok pembicaraan Jokowi-SBY.

Sebagai Presiden terpilih, bukan tanpa dasar Presiden Jokowi juga mengundang SBY tentulah dalam kapasitas beliau sebagai Ketum Partai Demokrat. Presiden Jokowi perlu mendengar posisi Partai Demokrat 5 tahun yang akan datang. Apakah ingin bergabung ke Koalisi Pemerintah atau berada di gerbong luar Pemerintah. 

Tentu, Presiden Jokowi perlu mendengar, jika ada kesesuaian pandangan, tentulah Jokowi akan memberikan tempat 1 kursi bagi Partai Demokrat di Kabinet mendatang. Itulah tujuan berpolitik di Indonesia. Kalau tidak duduk di Kabinet, maka dianggap itu belum koalisi. Tapi dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan SBY tidak menyimpulkan mereka berkoalisi minggu yang lalu, istilah mereka ada pembicaraan tetapi belum final.

Tak lama sesudah pertemuan SBY-Jokowi, lalu diadakan pertemuan Jokowi-Prabowo Subianto, lagi-lagi pertemuannya berlangsung di Istana Negara. Banyak pengamat membaca Gerindra akan masuk dalam Kabinet Jokowi Maruf Amin. Itu terbaca dalam berbagai kemesraan yang ditunjukkan oleh Jokowi-Prabowo Subianto di setiap pertemuan mereka selama ini, utamanya sesudah selesai sengketa pilpres di sidang Mahkamah Konstitusi yang mendukung ketetapan KPU tentang pilpres yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Dan menjadi masuk akal, Gerindra masuk dalam Kabinet, terkonfirmasi juga semakin mesranya hubungan Megawati Soekarputri-Prabowo Subianto, yang pasti membuat koalisi lebih cair untuk menerima kehadiran Gerindra. Dan Minggu, 13 oktober 2019, Prabowo Subianto juga mengunjungi Surya Paloh (Ketum Nasdem) di rumah kediaman pribadinya di Jakarta Selatan. 

Tentu pertemuan ini juga dalam rangka mencairkan hubungan Prabowo-Surya Paloh yang di yakini kurang harmonis selama ini dan Surya Paloh dianggap kurang nyaman akan kehadiran Gerindra di koalisi Indonesia Kerja jilid 2 ini.

Tanggal 14 oktober 2019, Zulkifli Hasan (Ketum PAN) juga menjajaki kemungkinan ikut bergabung ke dalam koalisi Jokowi. Tetapi hingga hari H nanti tanggal 20 oktober semua juga pasti masih sebatas pertemuan-pertemuan para tokoh, sebelum pengumuman Kabinet Kerja jilid 2 diumumkan, segala sesuatu masih mungkin terjadi. 

Pakem politik sesudah Reformasi di Indonesia masih seperti itu. Jarang ada koalisi yang dibangun permanen. Koalisi yang terbangun selalu berlatar kepentingan politik jangka pendek. Mungkin karena para elit politik bangsa ini masih memaknai demokrasi hanya sebatas untuk merebut kekuasaan.

Nah, dalam masa-masa penjajakan politik hari ini, para elit politik membuat segala keputusan dengan mendasarkan diri dan golongan mereka dalam menyongsong lima tahun ke depan tahun 2024. Di mana Presiden Jokowi tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2024, kecuali MPR periode tahun 2019-2024 yang dipimpin Bambang Susatyo mengadakan amandemen terhadap UUD 1945. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun