Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Internet, Media Sosial, dan Kolonialisme Elektronik

23 April 2022   09:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:08 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari kolonialisme digital, penerus sah dari kolonialisme kuno | medium.com

Kita telah memasuki era kolonialisme baru bernama kolonialisme elektronik lewat internet dan media sosial. 

Pernah kah pembaca membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa menggunakan media di abad ke-21? Rasanya tentu sangat sulit untuk dibayangkan dan sangat mustahil untuk diterapkan, karena pasalnya dalam segala kehidupan kita hari ini, kita tidak pernah lepas dari penggunaan berbagai media, baik itu adalah media online layaknya media sosial, situs berita, dan lainnya atau pun media konvensional layaknya koran, televisi, radio, film, dan lainnya.

Di satu sisi, kita tentu mengetahui dan memahami dengan sadar jika saat ini kita memiliki otonomi tertentu untuk menggunakan media apapun sesuai dengan tujuan dan kebutuhan kita. Hal ini selaras dengan penjelasan West dan Turner dalam teori kegunaan gratifikasi (2010: 393), bahwa seorang individu aktif mencari, mengkaji, dan mengevaluasi media tertentu dengan muatan tertentu demi menghasilkan suatu keputusan (hasil) tertentu.

Jika kembali merujuk pada teori tersebut, kita dapat menyadari bahwa saat ini kita dibanjiri dengan begitu banyaknya jenis-jenis media dan muatannya. Namun, khusus di Indonesia sampai sejauh ini menurut Reuters (2021), masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih banyak mengakses media sosial dibandingkan dengan media lainnya, yakni sebesar 89 persen berbanding 58 persen untuk televisi dan 20 persen untuk media cetak.

Perusahaan media sosial milik Mark Zuckerberg, yakni Facebook dan Instagram pada tahun 2021 kemarin berhasil masuk ke dalam peringkat tiga besar media sosial yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia (Javier, 2021). Data ini semakin mempertegas bahwa media sosial menjadi primadona di tengah masyarakat Indonesia. Meski begitu, namun kehadiran berbagai media sosial ini justru menjadi disruptor bagi media lainnya, khususnya media konvensional.

Permasalahan tersebut tidak hanya berurusan dengan berkurangnya jumlah pendapatan yang diterima, namun juga berpotensi memunculkan adanya bentuk kolonialisme baru dalam ruang media dan digital. Artikel kali ini akan berusaha mengulas suatu bentuk neo-kolonialisme yang menjadi duri di dalam daging bagi ruang digital global. Kolonialisme tersebut adalah kolonialisme elektronik atau electronic colonialism theory (ECT).

Dalam sejarahnya, electronic colonialism theory (ECT) lahir ketika media komunikasi saat itu, yakni surat dan surat kabar berhasil melintasi dan melampaui batas-batas nasional dalam berkomunikasi (McPhail, 2014). Tepat memasuki tahun 1945 atau lebih tepat setelah Perang Dunia II, media komunikasi pun pada akhirnya semakin berkembang, terlebih setelah teknologi komunikasi seperti nirkabel dan telegram ditemukan serta tersebar luas.

Pada era ini juga, kegiatan surat menyurat dan membaca surat kabar sebagai media komunikasi utama mulai mengalami pergeseran dalam hal efektivitasnya. Perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi nirkabel serta telegram secara global mulai merambah pada sektor media massa, khususnya setelah teknologi siaran televisi, film dan siaran radio internasional hadir untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat yang semakin luas.

Di tahun 1960-1970-an atau saat Perang Dingin, negara seperti Uni Soviet dan Amerika Latin memandang kemajuan teknologi komunikasi di media massa mempengaruhi terciptanya sistem kapitalisme dalam media-media barat seperti CNN, BBC, NBC dan lainnya. Bentuk kapitalisme itu terlihat dari cara mereka dalam melakukan liputan dan produksi berita yang monopolisitik dan marjinal terhadap permasalahan di negara berkembang dan miskin.

Maka, berfokus pada masalah tersebut, teori kolonialisme elektronik berfokus pada media massa dan iklan yang mampu memberi pengaruh terhadap bagaimana seseorang melihat, berpikir dan bertindak pada semua fenomena sosial serta budaya yang dirangkum dan disampaikan dalam dunia multimedia yang kapitalis serta sering memarjinalisasi kedudukan budaya dan masyarakat dari negara-negara berkembang atau misikin (McPhail, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun