Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dilema Etika Jurnalisme dan Jurnalisme Warga

23 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 16 April 2022   09:49 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suatu ilustrasi dari praktik citizen journalism yang diberi nama "truth to power" | pinterest.com/ginzyrose

Etika jurnalisme tidak hanya berlaku bagi para wartawan profesional, tapi juga bagi jurnalis warga

"Bijak bermedia sosial adalah kunci untuk 'selamat' di masa serba digital seperti sekarang". Penggalan nasehat tadi mungkin terdengar cukup familiar bagi sebagian besar orang. Media sosial memang telah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Saat ini kita berbisnis; mendapatkan informasi; berbagi informasi; dan seterusnya, semuanya melalui media sosial yang kita punya (Zaenudin, 2012).

Media sosial sudah menjadi suatu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat yang hidup di era Revolusi Industri 4.0. Selain itu, media sosial di satu sisi ternyata juga semakin memampukan kita untuk memiliki suatu otonomi berupa otonomi pesan, yang nantinya akan berdampak pada semakin mampunya kita untuk berbagi informasi; mewartakan suatu peristiwa; mereproduksi suatu isu; dan lainnya, secara jauh lebih terbuka dan bebas.

Fenomena otonomi ternyata juga semakin membawa masyarakat untuk mampu memainkan peran ganda dalam kehidupan bermedia mereka. Peran ganda yang penulis maksud adalah masyarakat kini tidak hanya sekadar menjadi konsumen pesan, namun mereka juga dapat menjadi seorang produsen pesan. Fenomena di mana kini semua orang dapat menjadi seorang produsen dan konsumen pessan dikenal sebagai fenomena citizen journalism (jurnalisme warga).

Citizen journalism adalah suatu fenomena komunikasi di mana warga masyarakat menggunakan berbagai alat komunikasi yang mereka miliki untuk melakukan kegiatan pers amatir, saling berbagi informasi dan menyampaikan opini terhadap suatu isu secara terbuka di ruang publik daring (online) (Rosen dalam Licitar, 2018). Kemunculan citizen journalism adalah respon masyarakat yang tidak puas dengan kinerja dari media konvensional.

Menurut Blek dalam Licitar (2018) faktor utama yang memicu lahirnya jurnalisme warga juga dipengaruhi oleh tumbuhnya kekuatan ekonomi dan politik dari warga kelas menengah, di mana warga kelas menengah ini tidak cukup merasa puas dengan kinerja dari media konvensional yang juga dibarengi oleh munculnya keinginan dari mereka untuk bersuara dan didengarkan oleh pihak lain, seperti pemerintah misalnya.

Selain itu, citizen journalism juga membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan bermedia di masyarakat. Yang pertama, citizen journalism dapat membuka ruang komunikasi dan komentar yang jauh lebih luas bagi masyarakat dalam menyampaikan kritik, pujian ataupun opini. Kedua, citizen journalism juga berkontribusi menambah pendapatan masyarakat dari membantu tugas seorang jurnalis profesional dalam melakukan peliputan dan penulisan artikel berita.

Meskipun citizen journalism memiliki fungsi dan peran yang penting bagi masyarakat, namun menurut Zaenudin (2012) citizen journalism juga menjadi pihak yang turut berkontribusi dalam menyebarkan misinformasi dan disinformasi di media sosial. Salah satu contoh konkretnya adalah banyak dari mereka yang tidak memahami kaidah jurnalisme yang baku, dalam mencari; meliput; menulis; dan menyampaikan hasil berita yang berguna serta berimbang bagi masyarakat.

Pernyataan Zaenudin juga di dukung oleh sebuah hasil riset kolaboratif yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center (2020), yang berhasil mengungkapkan bahwa media sosial menjadi media yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia sekaligus juga menjadi menjadi media yang paling banyak memiliki disinformasi dan misinformasi di dalamnya. Tingkat kepercayaan publik terhadap media sosial menurut hasil survei tersebut mencapai angka 76%.

Meski mendapatkan kepercayaan yang tinggi, namun nyatanya media sosial justru menjadi tempat bagi berkembangnya hoaks yang palng besar. Berdasarkan hasil survei tersebut, ada tiga media sosial yang paling banyak memiliki hoaks. Facebook menduduki peringkat pertama sebagai media sosial yang paling banyak memiliki disinformasi dan misinformasi, sebesar 71,9%; disusul Whatsapp sebesar 31,5%; dan terakhir Youtube sebesar 14,9%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun