Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia, Ganja dan Semesta

21 April 2021   08:00 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:42 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari tanaman ganja segar | rri.co.id

Menurut Dhira Narayana dalam buku Hikayat Pohon Ganja (2019), mabuk pada dasarnya adalah sebuah proses kognisi atau proses berpikir, di mana manusia dapat melakukan sesuatu di luar kendali pikiran mereka sendiri. Keadaan mabuk karena pengaruh zat psikoaktif dari tanaman ganja dapat terjadi saat sel-sel saraf di otak manusia bekerja di luar kebiasaan mereka. Selain itu, mabuk dapat terjadi karena manusia memiliki reseptor zat psikoaktif (penerima) di otak mereka.

Dengan reseptor yang terdapat di otak manusia, maka perilaku organisme manusia untuk mendapatkan dan mengubah kesadaran dengan zat-zat psikoaktif dari ganja atau dari zat-zat lain, seperti kafein, kokain, opiat, jamur hingga kecubung, semakin membuat otak manusia secara perlahan-lahan membentuk kode genetis dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya, untuk semakin lebih memahami dalam mendapatkan suatu kemampuan dalam memanipulasi kesadaran.

Terdapat dua jenis reseptor pada otak manusia yang memampukannya untuk menampung sensasi yang ditimbulkan oleh molekul tanaman ganja. Reseptor tersebut diberi nama sebagai “receptor cannabinoid” dan ditemukan pada tahun 1988. Receptor canabinoid disingkat menjadi CB1 dan CB2. Reseptor CB1 terdapat pada otak dan sumsum tulang belakang manusia. Sedangkan, receptor CB2 ditemukan pada saraf di luar otak dan sumsum tulang belakang.

Fakta menarik dari berbagai penelitian mengenai reseptor ganja pada manusia, menyebutkan bahwa reseptor CB1 ternyata menjadi salah satu resepetor yang paling banyak terdapat pada bagian tubuh manusia, terkhususnya dibagian otak dengan tingkat kepadatan tertinggi di bagian sistem saraf, mulai dari hipokampus, hipotalamus, cerebelum, basal ganglia, batang otak, sumsum tulang belakang dan amigdala. Ada satu fakta menarik lain mengenai reseptor CB1.

Selain menjadi salah satu reseptor yang paling banyak dalam tubuh manusia, ternyata reseptor CB1 juga terdapat di seluruh spesies bertulang belakang, seperti mamalia, unggas, reptile, amfibi hingga berbagai jenis ikan dinilai mampu merasakan efek zat psikoaktif dari tanaman ganja (Narayana, 2019). Masih dari sumber yang sama, menurut beberapa hasil penelitian, sistem reseptor CB1 terhadap ganja ternyata sudah berkembang sejak 600 juta tahun yang lalu!

Banyaknya jumlah reseptor yang terdapat pada otak manusia untuk menerima ransangan dari tanaman ganja dibandingkan dengan reseptor untuk dapat menerima ransangan dari tanaman lainnya, semakin membuktikan bahwa manusia dan ganja sejatinya sudah sejak lama saling berevolusi. Sejak manusia purba mulai bermigrasi sekitar 60.000 tahun yang lalu dari benua Afrika menuju benua Asia, persentuhan antara manusia dengan ganja pun mulai terjadi.

Dalam suatu penelitian paleontologi yang dilakukan oleh Terence McKenna (Narayana, 2011) menyebutkan bahwa persentuhan antara manusia purba Afrika dengan ganja terjadi disekitar kawasan benua Asia bagian Tengah. Persentuhan manusia purba dengan ganja menurut penelitian tersebut menjadi salah satu pemicu terkuat dari lahirnya kebudayaan linguistik dan perkembangan bahasa sintaktis pada manusia yang hidup di zaman neolitikum (kebudayaan batu baru).

Masih dari sumber penelitian yang sama, konsumsi ganja yang dilakukan oleh manusia purba ternyata memicu terbentuknya berbagai senyawa di otak yang akhirnya merangsang terbentuknya suatu kemampuan dan kapasitas baru dalam menerima serta mengolah informasi. Dalam penelitian tersebut, pada dasarnya CB pada otak manusia banyak terdapat di otak bagian kiri, di mana otak bagian kiri adalah otak yang menjadi pusat lahirnya proses verbal dan mengolah informasi.

Kebudayaan neolitikum, masa di mana manusia purba mulai hidup menetap; bertani dan membangun bahasa | kompas.com
Kebudayaan neolitikum, masa di mana manusia purba mulai hidup menetap; bertani dan membangun bahasa | kompas.com

Meningkatnya kemampuan dan kapasitas otak manusia purba dalam menerima serta mengolah informasi ternyata juga berbanding lurus dengan meningkatnya pengetahuan mereka dalam bertahan hidup dan bercocok tanam. Menurut Michael Pollan dalam buku Hikayat Pohon Ganja (2011) manusia purba mempelajari banyak tanaman yang bisa dimakan dan diolah berdasarkan aktivitas organisme lain yang berperan dalam membantu penyerbukan benih (zoochory).

Dalam penjelasannya, Pollan juga menyebutkan bahwa ganja menjadi salah satu tanaman yang tidak mengalami penyerbukan, namun akhirnya tanaman ini banyak dibudidayakan dan disebarkan benihnya karena zat psikoaktif yang dapat membuat mabuk sangat disukai oleh manusia serta tidak menimbulkan efek samping. Akhirnya selain menjadi sarana untuk membuat orang mabuk dengan alasan spiritual, ganja perlahan-lahan juga dimanfaatkan sebagai makanan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun