Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejarah Pedasnya Sambal yang Terlupakan

24 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 16 April 2022   09:50 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aneka sambal khas Indonesia | kompas.com

Ilustrasi dari
Ilustrasi dari "lada India" (sebelah kanan) yang sejatinya adalah cabai Amerika dalam buku Commentarii | lskauctioncentre.co.uk

Salah satunya adalah Portugal yang juga menjadi kerajaan Maritim di Eropa Barat yang melakukan ekspedisi rempah-rempah ke tanah Hindia dan berhasil tiba ditempat tujuan pada tahun 1511 dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. 

Saat itu, Portugal dan Spanyol dalam penjelajahannya ke bumi Nusantara juga ikut serta membawa cabai yang sekiranya dapat menjadi komoditas yang dapat ditukar dengan lada yang melimpah ruah di Banda Neira maupun di Jawa.

Meski pertukaran antara produk cabai dengan lada berhasil dilakukan oleh kedua belah pihak, namun menurut Fadly Rahman, sejarawan kuliner dari Universitas Padjajaran, seperti yang dikutip dari kompas.com, menyebutkan bahwa jauh sebelum Portugal dan Spanyol memperkenalkan cabai yang sering kita konsumsi untuk membuat sambal, ternyata masyarakat Nusantara, khususnya Jawa telah mengenal dan mengkonsumsi tanaman mirip cabai bernama cabya.

Cabya atau yang dalam bahasa Latin bernama piper retrofractum vahi adalah sejenis tumbuhan berkayu yang masuk ke dalam golongan tumbuhan lada dan sirih, yang fungsi dan aromanya hampir sama seperti lada. 

Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang berada diwilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, cabai yang satu ini sering disebut sebagai “cabe Jawa” atau cabai lempuyang. Namun, setelah cabai dari Eropa masuk, perlahan cabya mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa cabai yang dibawa oleh para pelaut Eropa pada akhirnya bisa populer dan bertahan hingga sekarang. 

Namun, menurut Gardjito dalam Gastronomi Indonesia jilid I (2019), berkembang dan populernya konsumsi cabai di Nusantara, yang dibawa dari Eropa diduga disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama adalah makin banyaknya tanaman cabai yang dibudidayakan oleh petani-petani di Jawa dan terjadinya pertukaran hasil bumi yang kontinu.

Menurut Jack Turner (2019), bangsa Eropa pada abad ke-16 masih benar-benar terobsesi dengan lada sebagai salah satu komoditi rempah yang sangat primer bagi dapur rumah tangga mereka. Dibawanya cabai dari Benua Amerika oleh mereka (pelaut Portugal dan Spanyol), ikut menandakan terjadinya aktivitas dagang dan pertukaran budaya dalam waktu yang sama. Sehingga, interaksi dagang ini bersifat sangat mutualis, baik antara Eropa dengan Nusantara.

Pada akhirnya, cabai, seperti halnya cabai merah dan hijau keriting; cabai rawit; cabai merah dan hijau besar; cabai katokon dan varietas cabai lainnya, semakin populer disajikan dan dikonsumsi oleh penduduk Nusantara. 

Semenjak saat itu, penduduk Nusantara, terkhususnya yang tinggal di Pulau Jawa mulai menggunakan cabai dan meninggalkan cabya secara berangsur-angsur. Oke, itu tadi adalah cerita panjang soal masuknya cabai dan influensi cita rasa pedas baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun