Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mencari "Vaksin" untuk Hoaks Corona

8 Juli 2020   08:52 Diperbarui: 8 Juli 2020   21:39 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hoaks mengenai corona. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Masifnya arus informasi di media sosial membuat infodemik bisa jauh kebih berbahaya ketimbang virus corona itu sendiri | toonpool
Masifnya arus informasi di media sosial membuat infodemik bisa jauh kebih berbahaya ketimbang virus corona itu sendiri | toonpool

Dalam liputan “WHO says fake coronavirus claims causing 'infodemic'” (bbc.com, 2020), Zoe Thomas melaporkan, WHO melalui Andrew Pattison meminta kepada semua perusahaan teknologi untuk melakukan verifikasi data, menghapus berbagai klaim palsu dan mengkampanyekan informasi yang akurat mengenai Covid-19.

Hal ini didasari atas temuan kasus dari perusahaan e-commerce Amazon yang telah menjual berbagai macam produk yang diklaim dapat mecegah dan mengobati virus corona, namun tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan riset kesehatan yang komplit. Danny Rogers, salah satu pendiri Global Disinformation Index membuktikan bahwa sebagian orang menyebarkan berita palsu untuk mengambil keuntungan. Seperti yang dilakukan oleh perusahan kesehatan dan gaya hidup Goop yang mengumpulkan perhatian pengguna melalui disinformasi untuk memainkan perputaran iklan dan produk barang (Weiss, 2020).

Di Indonesia sendiri, infodemik sudah menjadi suatu persoalan yang serius karena berdampak pada individu atau masyarakat untuk melakukan identifikasi persoalan mengenai pandemi dan juga bagaimana seharusnya masyarakat bersikap. Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Dr. Rahkman Ardi (2020) yang berjudul Infodemik Di Saat Pandemi yang diunggah oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) (himpsi.or.id), menyebutkan Kominfo sendiri telah menemukan sekitar 1.401 sebaran isu disinformasi mengenai Covid-19. Isu yang disebarluaskan tidak hanya mengenai informasi menyesatkan, namun juga terkait dengan teori konspirasi mengenai Covid-19 yang beberapa waktu lalu marak di internet.

Infodemik yang tersebar kebanyakan disponsori oleh kemampuan masyarakat dalam menggunakan internet dan menjembatani individu yang berpikiran seminat untuk dapat bertukar pikiran. Sehingga hal ini kemudian menimbulkan sikap kepercayaan yang spontan dan lunturnya sikap kritis untuk mencari kepastian informasi. Lunturnya sikap kritis inilah yang kemudian semakin membuat situasi menjadi runyam. Salah satu contoh infodemik adalah peristiwa pembakaran sejumlah menara seluler 5G di tiga kota di Inggris Raya, yakni Liverpool, Birmingham dan Merseyside karena informasi sesat yang menyebar luas bahwa menara seluler 5G dapat menyebarkan virus corona (cnnindonesia.com).

Masih dari laporan yang sama, CNN Indonesia juga menyebutkan, bahwa Full Fact, perusahaan nirlaba pemeriksa fakta di Inggris Raya telah menyatakan teknologi 5G tidak menimbulkan resiko bagi manusia. Hal itu terbukti dari kasus Covid-19 di Iran yang menyebar bukan karena dipengaruhi teknologi jaringan 5G, dimana Iran menjadi salah satu negara yang tidak memiliki teknologi tersebut. Peristiwa ini semakin memperkuat pandangan bahwa infodemik harus diatasi agar tidak berkembang menjadi jauh lebih berbahaya di masa depan jika ada fenomena serupa seperti halnya pandemi Covid-19.

Karena itu, infodemik memerlukan sebuah vaksin. Penulis beropini, bentuk vaksin yang mungkin dapat mencegah dan juga mengobati virus infodemik adalah dengan membaca berita indepth reporting dan investigasi. Mengapa? Mari kita lihat yang terjadi dengan media dan jurnalisme kita. Media kita sejauh ini secara bisnis selalu menggunakan logika pasar, dimana konten media selalu dibuat dan disajikan hanya sebagai komoditas dagang semata serta mengikuti permintaan konsumen demi tercapainya profit.

Kecanggihan teknologi komunikasi semakin membuat orang terjebak dalam mendapatkan informasi yang akurat | technologyreview.com
Kecanggihan teknologi komunikasi semakin membuat orang terjebak dalam mendapatkan informasi yang akurat | technologyreview.com

Pola kerja seperti ini tidak melihat jurnalisme sebagai barang publik (public goods) yang perannya sangat besar untuk mendidik masyarakat, memperluas cakrawala pemikiran, alat kontrol sosial dan mampu mengubah sikap masyarakat. Padahal indepth report dan investigasi seperti memberi publik sebuah senter, supaya publik bisa melihat berbagai konteks fenomena yang terjadi secara menyeluruh dan komprehensif.

Kehadiran indepth report dan investigasi memberi kita asupan berita yang memadai dan berpihak bagi publik, karena beberapa tujuan pemberitaan indepth report dan investigasi adalah untuk memperluas cakrawala pemikiran dan mengubah sikap masyarakat. Jadi, penulisan sebuah indepth reporting dan investigasi pasti akan selalu mengikuti kaidah dan disiplin jurnalistik yang baik karena ini ditujukan kepada publik supaya publik menjadi bijaksana dan kritis dalam melawan infodemik seperti saat ini.

Infodemik sejatinya lahir karena media kita selama ini selalu “nurut” kepada konglomerasi yang hanya mengambil keuntungan saja. Sehingga karya jurnalistik dikorbankan untuk membuat berita yang clickbait, sensasional, disinformasi, misinformasi, marjinal terhadap suatu kelompok masyarakat dan lainnya. Padahal tidak tersedianya informasi yang berorientasi dan ramah publik akan semakin menghambat kebutuhan informasi kredibel yang sangat diperlukan untuk bisa melawan virus infodemik yang semakin liar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun