Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersikap Prihatinlah Selagi Kita Bisa

26 Maret 2020   14:35 Diperbarui: 26 Maret 2020   14:57 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prihatin | lektur.id

Tidak terasa sudah sekitar dua minggu lebih saya tidak kembali mengunggah tulisan-tulisan artikel di akun Kompasiana saya. Berat memang rasanya untuk harus menulis sebuah artikel yang berbobot dan penuh analitik secara mingguan ditengah keadaan dan kondisi yang tidak menentu seperti yang bisa kita rasakan saat ini. 

Di tulisan artikel kali ini, saya mencoba untuk membuat sebuah tulisan yang ringan dan sederhana berdasarkan atas pengalaman pribadi yang sudah saya rasakan secara subjektif sebagai akibat dari diberlakukannya kebijakan social distancing oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berusaha menekan angka penularan virus Covid-19 di masyarakat dengan meniadakan kegiatan aktivitas kerja dan pendidikan secara tatap muka di perkantoran dan ruang kelas yang dialihkan ke metode daring melalui internet dan perangkat teknologi lainnya.

Pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2020 tepat pukul 20.00 WIB, saya baru saja tiba dirumah selepas melaksanakan misa di Gereja St. Albertus Jetis, Yogyakarta. Kebetulan saya adalah seorang Katolik dan saya sengaja menghadiri misa pada hari Sabtu sore karena esok harinya saya harus bergegas pergi ke Kabupaten Gunung Kidul untuk melaksanakan kegiatan observasi dan pengambilan data di dusun KKN saya. Kebetulan juga, saya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dan kegiatan KKN menjadi salah satu syarat kelulusan saya. 

Kembali ke cerita, setibanya saya dirumah, saya mendapatkan sebuah pesan notifikasi di gawai saya. Saya melihat pesan notifikasi tersebut dan kemudian saya mendapatkan sebuah surat edaran elektronik dari Universitas saya dan isi surat itu menyebutkan bahwa “kegiatan perkuliahan secara tatap muka di ruang kelas dan termasuk juga kegiatan Ujian Tengah Semester serta Ujian Akhir Semester akan ditiadakan dan dialihkan ke bentuk perkuliahan secara daring sampai dengan akhir semester ini!”

Saya secara pribadi sangat kaget dengan keputusan seperti itu karena sebelumnya Universitas saya tidak memberikan “ancangan” atau rencana untuk memberlakukan kebijakan seperti ini. Namun, di satu sisi saya mencoba berpikir secara lebih tenang bahwa apa yang dilakukan oleh Universitas saya adalah sebuah tindakan yang tepat karena adanya suatu langkah preventif yang diinginkan untuk meredam meluasnya penularan wabah Covid-19 di masyarakat dan juga bagi civitas kampus. Di dalam surat edaran elektronik itu, saya juga menemukan bahwa “kegiatan KKN secara resmi “dibatalkan!” untuk periode ini dan akan diganti dengan kegiatan pengabdian yang lain yang akan dilakukan secara daring”.

Secara lebih lanjut, di dalam surat edaran elektronik itu, kegiatan perkuliahan saya secara daring akan mulai dilaksanakan per hari Senin tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan Sabtu 25 Juli 2020, termasuk kegiatan UTS, UAS dan KKN. Setelah saya selesai membaca surat edaran elektronik itu, lantas ada begitu banyak perasaan yang kemudian hinggap di pikiran saya. Mulai dari senang karena ini adalah pertama kali saya bisa merasakan sebuah sensasi kuliah yang sangat langka, saya bisa istirahat kapan pun yang saya mau, saya bisa menghadiri perkuliahan tanpa harus mandi dan berias dahulu serta aktivitas menyenangkan lainnya. 

Namun, di satu sisi saya juga sering dihantui oleh rasa takut dan khawatir terkait dengan penyebaran wabah virus ini. Karena Covid-19, saya jadi lebih susah untuk beraktivitas seperti berbelanja bahan pangan, saya harus lebih sering ada di dalam rumah yang pasti akan sangat membosankan, saya juga harus sering mandi kalau saya baru dari luar yang praktis akan membuat sampo dan sabun saya cepat habis, saya juga harus sering minum vitamin yang kalau dikonsumsi berlebihan juga tidak bagus untuk tubuh dan lainnya.

Para perawat Corona yang memberikan himbauan | merdeka.com
Para perawat Corona yang memberikan himbauan | merdeka.com

Tapi sampai saat ini, per tanggal 26 Maret 2020 atau sudah genap 10 hari saya ada dirumah dan sangat jarang sekali untuk keluar dari rumah kecuali hanya untuk keperluan berbelanja dan memenuhi kebutuhan pokok, saya justru bisa belajar sebuah hal baru yang begitu reflektif bagi saya. 

Saya berefleksi bahwa inilah saat yang tepat bagi kita untuk memaknai secara lebih jauh tentang seberapa besarnya rasa prihatin kita dalam memaknai hidup. Rasa prihatin ini bisa menjadi tonggak awal bagi kita untuk kembali berpikir tentang sudah seberapa jauh kah kita bisa bersyukur, sudah seberapa jauh kah kita bisa menghargai orang lain, sudah seberapa jauh kah kita bisa rendah hati dan menahan ego serta sudah seberapa besarnya kita bersabar terhadap sebuah cobaan dan lainnya. 

Lalu mengapa prihatin menjadi hal baik yang bisa dilakukan saat ini? Sederhananya, ada ratusan ribu orang yang bisa kita sebut dengan dokter, perawat, ahli kesehatan, ilmuwan, pemerintah, aparatur negara yang harus melindungi ratusan juta masyarakat, mereka jumlahnya terbatas dan saat ini menjadi pasukan untuk berperang melawan “musuh tak kasat mata”.

Dengan mengedepankan rasa prihatin setidaknya kita bisa melunturkan sikap egois, apatis, dengki dan semua perasaan negatif lainnya agar kita bisa mengatasi masalah ini secara bijak dan kooperatif. 

Kita bisa mulai dari mana? Kita bisa mulai dari mengikuti aturan pemerintah untuk stay dirumah, belajar di rumah, kerja di rumah serta ibadah dari rumah. Lakukan social distancing dengan tertib. 

Untuk mereka yang masih menganggap sepele aturan ini, pesan yang ingin saya sampaikan adalah apakah kita tega untuk melihat semakin banyak orang yang terinfeksi karena wabah ini dan apakah kita juga tega melihat satu persatu dokter, perawat, pasien atau siapapun gugur atas bencana ini karena kita terlalu egois, tidak peduli dan tamak dalam menyikapi dan menghadapi bencana ini? 

Jangan pernah bandingkan kita dengan ojol, shopkeeper, kuli bangunan, tukang sayur, buruh panggul, buruh gendong, satpam, pedagang kaki lima yang masih harus banting tulang dan tidak bisa mengikuti aturan pemerintah untuk tetap berada dirumah dan menghindari keramaian hanya untuk bisa makan.

Di sini lah kita bisa menerapkan rasa prihatin untuk bisa berdamai dengan situasi seperti saat ini. Kita yang mampu untuk mengikuti dhawuh pemerintah kita taattilah bersama. 

Untuk mereka yang tidak bisa seperti kita, kita bisa bantu mereka lewat doa, kita bantu dengan berdonasi, memberi mereka uang lebih supaya mereka bisa makan, kita beri vitamin kalau kita punya lebih, kita berikan masker ke mereka yang membutuhkan, kita bisa pesan makanan secara daring lewat ojol supaya mereka tetap beroperasi dan hal-hal kecil lainnya yang bisa membantu mereka. 

Sikap prihatin ini juga bisa menjadi alat untuk mengubur sikap negative terutama rasa egois. Bayangkan lah, dengan mengedepankan rasa prihatin kita bisa mengurangi beban tenaga medis supaya mereka mampu merawat pasien dengan baik, kita bisa menghargai waktu kebersamaan dengan kerabat dekat, kita bisa menghargai status seseorang yang tidak seberuntung kita dan lainnya.

Sebagai penutup, pesan yang ingin saya sampaikan untuk kita semua adalah selagi kita bisa hidup prihatin terapkanlah selalu dan tidak hanya pada masa-masa seperti ini saat ini. Kenapa? Karena hanya dengan rasa prihatin lah kita bisa berdamai dengan begitu banyak keadaan dalam hidup mungkin seringkali kita cap sebagai “bencana”. Prihatin lah selagi kita bisa, dengan prihatin hidup kita akan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun