Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Nilai di Sekolah, Sebuah Utopia?

2 Mei 2020   08:19 Diperbarui: 2 Mei 2020   09:11 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara bendera merayakan HUT ke-73 Republik Indonesia di Sekolah Dasar Negeri Rapamanu, Desa Mbatakapidu, Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/8/2018). (KOMPAS.com/SILVITA AGMASARI)

Dunia sekolah rupanya gagal menjadi rumah kedua yang berkontribusi dalam pendidikan nilai bagi generasi muda. Pendidikan nilai berjalan minim rasionalitas dan lebih diwarnai eufemisme atas perilaku siswa yang memberikan kepuasaan sesaat orang dewasa sekalipun hal itu artifisial dan kebohongan belaka. Benarkah demikian?

Saya teringat pengalaman seorang guru muda belia takkala memasuki kelas untuk mengajar di hari pertamanya menjadi seorang guru. "Apa kabar kalian semua?", sapanya dengan riang. "Baik buuuu," jawab para murid serempak. 

Belum selesai para murid menyahut, seorang murid iseng menjawab "Kabar burung bu guruuuu," potongya. Sontak si guru cantik itu menoleh ke arah suara. Ia terdiam sejenak, tidak menduga mendapat tanggapan seperti itu.

Suasana kelas senyap sesaat. Para murid lain menunggu apa reaksi gurunya. Gurunya tersenyum. Senyum merekah keluar bibir merah muda dari si keisengan salah satu dari mereka tak terjadi. Lega rasanya.

Itu bukan akhir cerita. Yang menarik justru saat si guru itu berterima kasih ada yang berkomentar ganjil "kabar burung" tadi. Dia tidak langsung menyalahkan si murid tersebut. 

Baginya, justru ini merupakan kesempatan baik melanjutkan misi pembelajaran di kelasnya hari itu, yakni dengan mengajak para murid berbicara dan menyepakati aturan main di kelasnya.

Apa yang digambarkan di atas hanya mau mengatakan, seberapapun ruang lingkupnya, aturan main diperlukan. Di manapun situasinya: kelas, sekolah, kos-kosan, RT, RW, perkumpulan atau organisasi bahkan konteks daerah atau negara sekalipun. 

Prinsipnya sama, aturan main atau apapun namanya diperlukan karena merupakan kesepakatan atau yang disepakati untuk mengatur tata perilaku individu atau kelompok di dalamnya.

Proses pengenalan dan pembiasaan adanya perlunya aturan di mulai di sekolah. Beragam cara dilakukan agar tujuan itu tercapai. 

Pada suatu kunjungan sekolah (2009) ke Sacred Heart School, Chicago, sebagai bagian dari proses belajar waktu itu, saya menemukan pengalaman menarik bagaimana sekolah tersebut mendidik muridnya belajar pentingnya aturan main yang di sepakati bersama.

Di depan suatu kelas terpampang aturan main yang "aneh" bagi saya, kurang lebih begini bunyinya: gagal mengerjakan PR didenda 10 cent, terlambat masuk kelas 12 cent, tidak respek terhadap teman juga kena pinalti dan seterusnya. "Mengapa kelas ini membuat sebuah aturan yang terkesan ekonomis," saya bertanya kepada guru di kelas itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun