Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bertanyalah seperti Filsuf!

22 April 2020   10:20 Diperbarui: 22 April 2020   10:33 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Konon, jika ditanyakan: apakah perkerjaan seorang filosof? Jawabnya adalah "bertanya." Orang yang bertanya, pastilah orang yang berpikir. Pemikiran dan pertanyaan adalah sahabat satu sama lain bagi seorang filosof. Pertanyaan, seperti layaknya pemikiran, membawa pencerahan akal budi manusia.

Jaman dahulu jawaban atas persoalan kehidupan rasanya tak bisa dilepaskan dari pandangan seorang filosof. Mulai jaman Sokrates (470-399 SM), Plato (428-348 SM), Aristoteles (384-322 SM) sampai Rene Descartes (1596-1650) dengan "epistemologi" atau Paul Jean-Sartre  (1905-1980) yang terkenal dengan filsafat eksistensialisme-nya. Mereka telah memengaruhi secara luar bagaimana pemikiran manusia mencari kebenaran dan kebijaksanaan hidup.

Lah, apa hubungannya: bertanya, filosof, dan guru di kelas?

Guru yang filosof

Guru tidak mengajar murid yang pengetahuannya nol. Murid sesungguhnya telah dilengkapi pengalaman dan pengetahuan. Maka, tentu saja mengajar itu bukan soal memberi materi semata.  Materi itu mudah didapat murid dari alam semesta tak berhingga dunia nyata dan dunia maya. Dan tentu saja, itu bukan materi ajar namun bagaimana cara belajar. Tidak ada rumus baku cara belajar. Betapapun begitu, ada saja yang sama.

Apa itu, bertanya. Guru yang berpikiran luar biasa, biasanya juga menelorkan pertanyaan yang maha dasyat bagi muridnya. Dengan pertanyaan itulah si guru menuntun muridnya memahami kebenaran atau alam semesta ini. Guru itu tak akan memberi pertanyaan yang mudah bagi murid untuk menjawab. Dia tak puas. Bukan karena tidak mau melihat muridnya senang dan puas  diri, tentu saja bukan.

Pertanyaan yang bermakna, biasanya berbuah pada pertanyaan baru oleh sang murid. Pertanyaan yang sifatnya fakta, pengetahuan, atau konsep dasar pasti dengan sekali ketik kata kunci di internet kita mendapat solusi yang lebih jelas dari pertanyaannya sendiri.

Demikian juga, guru tak akan membuat pertanyaan yang membuat frustasi para murid karena tak paham yang dicari. Bisa jadi juga ia tidak mengerti apa yang sesungguhnya ditanyakan. Atau, bisa jadi si guru juga tidak memahami secara paripurna apa arti pertanyaan ayang diajukan kepada muridnya. 

Bukan tidak paham dengan jawabanya. Namun, tak memahami tujuan ia bertanya. Ia tak memahami bahwa murid perlu dibantu dan disiapkan untuk belajar. Bisa saja itu terkait aspek pengetahuan, keterampilan, atau sikap dasar yang dibutuhkan yang diperlukan si murid untuk menalar itu belum pernah dialaminya.

Tomlinson (2017), dalam bukunya How To Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms menjelaskan panjang lebar bagaimana seorang guru membuat diferensiasi belajar bagi para murid. Apa yang dilakukan Tomlinson ini menjadi jembatan yang tepat untuk memahami sejatinya tidak ada murid yang bodoh. 

Masalahnya hanya mereka itu tak pernah bertemu dengan guru yang tepat. Guru yang mampu mengantar akal budinya, meminjam istilah psikolog pembelajaran, Vygotsky, guru yang bisa menyeberangi daerah abu-abu (grey area) atau ruang kosong antara daerah potensial dan aktual berpikirnya, atau biasa disebutnya ZPD (zone proximal development).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun