Keempat, menyelenggarakan sistem pendidikan multikultur. Selama ini pendidikan di sekolah swasta cenderung elitis dan eksklusif untuk kelompok terbatas. Selain tidak menguntungkan bagi perkembangan siswa ke depan, hal itu jelas tidak antisipatif terhadap realitas kehidupan yang bersifat beragam dan multikomplek.
Kelima, merancang kurikulum yang mampu mengakomodasi semakin banyak kebutuhan siswa (student need) yang berbeda tadi. Itu artinya, sekolah swasta tidak hanya terjebak pada keberagaman intake siswa semata, namun secara sadar merancang dan mengembangkan kurikulum yang lebih manusiawi dengan mendiferensiasi kurikulum sekolah baik aspek isi, proses, maupun hasil belajar yang diharapkan sesuai dengan visi-misi sekolahnya.
Dan keenam, sekolah swasta harus dipimpin orang-orang yang profesional dan visioner dalam pendidikan. Profesional karena dia seorang pemimpin pembelajaran (instructional leader), sekaligus memiliki cita-cita, mimpi, keprihatinan dan pandangan yang jauh (visioner) ke depan atas praktek persekolahan yang dijalankannya.
Pemimpin sekolah swasta tidak bisa lagi dipimpin oleh orang-orang yang hanya kebetulan “dekat” dengan yayasan sebagai wakil dari pemilik sekolah.
Sekalipun sulit pilihan itu harus diambil, karena masa depan sekolah swasta adalah masa depan negeri ini juga.
[1] Praktisi pendidikan di SMA Kanisius, Jakarta