Media massa merupakan sarana yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat semasa ini. Kehidupan masyarakat yang serba bergantung pada kecepatan arus informasi memberikan beban tersendiri bagi media massa yang dituntut sebagai penyedia informasi yang kredibel, cepat, dan peka terhadap isu yang hadir dalam kehidupan sosial. Begitu eratnya hubungan antara media massa dengan khalayaknya sehingga dapat dikatakan bahwa isi media massa mempengaruhi pandangan subjektif terhadap konsumennya.
Gambaran dan realitas yang dibentuk serta dipertontonkan oleh media massa akan menjadi dasar respon khalayak terhadap kehidupan sosial sehingga apabila semakin keliru media massa memberikan gambaran dan realitas suatu hal, semakin jauh pula masyarakat menilai objek sosial tersebut dari sudut pandang kebenaran (Aria Aditya Setiawan, 2013). Oleh sebab itu, media massa diharapkan dapat menyampaikan informasi yang sesuai dengan realita sosial.
Kriteria media massa yang ideal tersebut belakangan ini dianggap kurang mampu diwujudkan ketika menyajikan informasi mengenai isu seputar difabel. Dalam sebuah acara bertajuk Media Gathering sekaligus Launching Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Organisasi Ciqal di Yogyakarta pada Januari lalu, disebutkan bahwa berita mengenai difabel sangat jarang ditemukan dalam media massa, yang dibuktikan oleh lima platform media mainstream di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hanya menerbitkan 2 sampai 30 berita setiap tahunnya. Sebagian besar berita yang disajikan pun memilih narasumber dari kalangan pemerintah dan kurang mengekspos sisi penyandang difabel yang menunjukkan kemampuan bersaing serta hal positif lainnya.
Fenomena eksklusivisme ini juga tercermin dalam pengertian difabel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Difabel menurut KBBI adalah penyandang cacat, sementara menurut tata bahasa berdasarkan kata asalnya “different ability” yang diakronimkan menjadi “difable” lalu berkembang menjadi “difabel” merujuk kepada perbedaan kemampuan serta perbedaan cara kegunaan anggota tubuh. Lebih lanjut lagi, kata ‘cacat’ dalam KBBI bermakna cela, aib, mutu, dan nilai yang tidak baik, bahkan terdapat pencampuran makna antara cela atau aib secara nilai dengan kondisi ketubuhan (Barra, 2019).
Bukan hanya pengertian KBBI yang kurang tepat mengenai kata difabel, melainkan penggunaan terminologi antara disabilitas dan difabel juga menjadi topik yang tak kunjung selesai diperdebatkan. Dilansir dari laman difabel.tempo, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu, menjelaskan bahwa terminologi yang tepat digunakan adalah disabilitas dan bukan difabel, meskipun ada beberapa organisasi yang beranggapan sebaliknya. Maulani menyatakan bahwa hal tersebut didasarkan pada payung hukum Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Maka dari itu, kata disabilitas lebih tepat digunakan sesuai dengan landasan hukum yang ada.
Selain dari penggunaan terminologi yang masih rancu, kebutuhan penyandang disabilitas akan suatu platform yang menyuarakan keadaan difabel sesungguhnya juga masih kurang digaungkan oleh media massa. Dilansir dari laman BBC News, media massa dewasa ini tidaklah memberitakan penyandang disabilitas secara proporsional; juga sangat sedikit media arus utama yang menyajikan konten disabilitas secara masif sehingga publik pun tidak ‘biasa’ terhadap kehadiran penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial. Penyandang disabilitas seakan merupakan bagian terpisah dari strata kehidupan masyarakat dan realita ini semakin menguatkan kesan ekslusif diantara keduanya.
Kurangnya sorotan yang akurat terhadap penyandang disabilitas mendorong segelintir difabel untuk mendirikan media online mandiri yang bertujuan untuk menghapus stigma dan diskriminasi masyarakat. Pendirian media yang diberi nama Newsdifabel ini diharapkan dapat mengikis kesan ekslusif pada penyandang disabilitas dan memberitakan realita yang aktual kepada masyarakat luas.
Dengan dikelola langsung oleh penyandang disabilitas, kehadiran Newsdifabel diharapkan mampu memanifestasikan peran media massa yang sesungguhnya seperti dalam enam perspektif yang dijelaskan oleh McQuail dalam Aria Aditya Setiawan (2013) menurut bukunya yang berjudul Mass Communication Theories, yaitu sebagai cermin yang merefleksikan kehidupan sosial sebagaimana adanya. Sampai saat ini, Newsdifabel terbukti dapat beroperasi selayaknya media online lain dan membuktikan eksistensi serta konsistensinya.
Sebagai penutup, realita ekslusivisme yang terjadi pada penyandang disabilitas dan media massa memang cukup jauh dari ideal. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak stigma dan diskriminasi yang diterima oleh penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial; yang juga merupakan sumbangsih dari ketidakseimbangan media massa dalam pemberitaan mengenai isu disabilitas.
Kehadiran Newsdifabel sebagai media yang langsung dikelola oleh penyandang disabilitas memberikan harapan bahwa fenomena ekslusivisme ini dapat dikikis perlahan dan mewujudkan impian kesetaraan penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial.