Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Perut Mulai Angkat Bicara

7 Oktober 2020   11:25 Diperbarui: 7 Oktober 2020   11:28 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yuli Nur Amalia - 2 hari cuma minum air - sumber : banten.suara.com

PERUT mempunyai bahasanya sendiri yang tidak dipunyai oleh kepala (akal). Ketika logistik tidak terpenuhi, niscaya logika tidak akan berjalan sebagaimana semestinya. Setidaknya itulah fenomena terkini yang nampak kasat mata tersaji di ruang publik; berupa aneka kekhawatiran, kegelisahan, yang berujung kemarahan di kalangan masyarakat terkait sulitnya melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah sebagai dampak implementasi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berkepanjangan.

Pandemi Covid-19 telah melahirkan jeritan dan tangisan di kalangan masyarakat. Tidak sedikit pegawai yang terpaksa ‘dirumahkan’ dan di PHK oleh perusahaan karena perusahaan tak lagi mampu berproduksi dan menghasilkan laba.  Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan berita seorang warga miskin di Kelurahan Lontarbaru, Kecamatan Serang, Banten yang kelaparan dan hanya mampu minum air galon selama dua hari; hingga akhirnya diberitakan menjumpai ajal karena menahan lapar, akibat imbas sulitnya perekonomian di tengah pandemi corona.

Hal lain lagi, sempat terjadi konflik horizontal antar para pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta dengan aparat keamanan. Konflik disulut akibat larangan bagi para pedagang untuk melakukan aktivitas jual – beli di trotoar; mengingat masyarakat sudah tak sabar lagi menunggu area gedung yang masih ditutup.

Di beberapa tempat lain, diberitakan melalui TV bahwa  tindakan larangan untuk membuka lapak dan toko, sampai-sampai harus dilakukan aksi penyemprotan air oleh petugas ke arah toko yang tetap buka; hingga membasahi barang dagangan si empunya. Tanpa pernah mau tahu, bahwa yang mereka lakukan adalah upaya untuk mencari nafkah guna mencukupkan kebutuhan pokok keluarga.

Akan lebih manusiawi, sekiranya para petugas ketertiban mampu menghadirkan dirinya di tengah masyarakat sebagai sang pamomong yang ramah dan bersahabat; sosok yang menganyomi, yang mengerti bahasa perut, bahwa mereka lapar.

Sementara, bagi mereka yang menjemput rejeki lewat aktivitas berkeliling, seperti driver ojol (ojek online) dan pedagang roti keliling juga mengalami kesulitan serupa. Selama penerapan PSBB, ada larangan untuk berboncengan dengan menggunakan sepeda motor; praktis tidak ada konsumen yang memanfaatkan jasa ojol. Akses keluar-masuk di banyak kompleks perumahan juga ditutup sehingga pedagang roti keliling tidak dapat menjajakan dagangannya. Bahkan masyarakat yang sedang makan di tenda-tenda atau warung makan pun dibubarkan, dan warung diminta untuk segera tutup.

Refleksi tulis ini, penulis sarikan dari perbincangan ala warung kopi dengan beragam masyarakat. Bisa jadi, jauh dari uraian dan analisis sosial; mengingat latar belakang penulis bukanlah sosiolog. Namun demikian, sebagai bagian dari warga masyarakat yang sampai saat ini masih work from home; penulis mencoba bersimpati dan berempati atas kesulitan perekonomian yang sedang melanda masyarakat di banyak lapisan.

Fenomena kegelisahan dan kemarahan masyarakat di ruang publik perlu untuk segera disikapi dengan jernih dan bijak oleh setiap anasir bangsa, juga oleh pemerintah. Jangan sampai nantinya energi dan konsentrasi anak bangsa yang saat ini sepenuhnya sedang dialokasikan guna mengatasi pandemi Covid-19 yang belum kunjung tuntas; justru malah tersita dan terpecah guna menyelesaikan konflik horizontal sebagai dampak sekunder (ikutan) terkait ‘urusan perut’ (baca: lapar) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan harian personal yang mendesak, dan yang tidak mengenal kompromi dan musim.

Bisa jadi mungkin benar bahwa kesemua upaya larangan dan pendisiplinan yang dilakukan petugas di lapangan guna menjaga agak tetap terciptanya jarak atas kontak pribadi dan sosial (Physical and Social Distancing); guna mencegah terjadinya kerumuman massa yang berpotensi untuk saling menularkan Covid-19.  Namun demikian, perlu diingat bahwa, saat ini, masyarakat telah melek informasi dan tehkonologi. Bahwa untuk menjadi tertular Covid-19 tidaklah harus berada di tengah keramaian.

Sempat viral video simulasi penelitian di Jepang terkait pola penularan Covid-19 berupa aktivitas personal saat makan dengan pola prasmanan ala buffet restaurant. Bahwa ternyata, sendiri (soliter) pun tidak berarti steril dari ancaman terkontaminasi virus. Dari simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa semua orang yang dilibatkan dalam aktivitas simulasi tersebut telah terkontaminasi oleh virus. Dengan demikian disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan agar tidak terinfeksi oleh Covid-19, senyatanya lebih ditekankan kepada tingkat kesadaran diri; kepeduliaan dan kesediaan diri untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat; bukan ditentukan oleh lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun