Mohon tunggu...
Eny Wulandari
Eny Wulandari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Suka baca dan nulis

Nulis juga di enywulandari.wordpress.com agar melatih menjadi luar biasa dengan berpikir di luar kebiasaan sebab untuk menjadi ekstra biasa bisa datang dari hal biasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merangkul Pengetahuan Lebih Erat di Zaman Kecerdasan Buatan

20 Februari 2020   15:45 Diperbarui: 20 Februari 2020   15:49 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Era membludaknya informasi saat ini memberikan saya perasaan baru yang cukup menyeramkan. Saya mesti bekerja keras menjadi seorang pembaca. Begitu banyak informasi yang ada di genggaman membuat saya malah bingung mana yang bisa saya resapi lama. Terlebih di media sosial dimana siapa saja seolah berlomba-lomba menjadi yang pertama. 

Tak perlu rasanya menghitung berapa banyak peristiwa yang malah berubah menjadi ajang persaingan berita palsu. Masih segar di ingatan saat gempita Pemilihan Presiden 2019 yang "memakan" korban beberapa orang merasakan dinginnya jeruji besi karena ujaran kebencian atau berita bohong yang mereka sebarkan.

Saya ingat waktu kuliah dosen pembimbing skripsi saya pernah mewanti-wanti dampak negatif angka. Dunia yang semakin terindustrialisasi akan membuat orang begitu terobsesi dengan statistik. Berselang 10an tahun, prediksi beliau terbukti. Istilah klik bait, jumlah pemirsa hingga viralitas menjadi tolok ukur kehebatan sebuah tulisan, validitas pencapaian hingga integritas sebagai seorang manusia.

Terlebih dengan adanya kecerdasan buatan, seolah nilai kita tak lebih dari konsumen dari beberapa korporasi besar. Mereka mengandalkan kecerdasan buatan untuk membuat waktu kita terbuang sia-sia menggunakan produk mereka. Sebegitu menggiurkan iming-iming angka sehingga kita mulai menganggap harga diri kita tak lebih dari sekian puluh, ratus atau ribu jempol hingga komentar.

Itu lebih cocok di dunia media sosial. Lalu bagaimana dengan pengaruh kecerdasan buatan bagi dunia pengetahuan? Atas nama algoritma, kita lebih sering melihat artikel tertentu muncul di sejumlah situs karena mendulang banyak klik. Semakin banyak dibaca, kemungkinan besar Anda  akan membaca artikel sejenis. Kecuali Anda kurang kerjaan barulah Anda akan menemukan artikel berbobot yang mendekam di timbunan tulisan "layak klik".

Jangan pernah menyalahkan kecerdasan buatan jika Anda merasa rentang konsentrasi Anda dalam membaca semakin pendek. Alihkan telunjuk Anda dari mesin pembelajaran atau teknologi atas otak Anda yang terasa semakin manja, seolah malas diajak bekerja ekstra keras.

Walau tidak sampai mencapai titik ingin muntah, saya pernah berada di poin dimana rasanya otak ini tak lagi sanggup mengikuti yang sedang panas di media. Otak saya pernah meronta kelelahan dengan banyak tab di komputer yang melambai agar saya membaca tulisan di sana.

Tak jarang saya mengutuk kebiasaaan saya yang suka membaca sebab ada momen dimana hobi saya ini begitu menyiksa. Di zaman serba melek informasi seperti sekarang, hobi membaca saya seolah menjadi. Pada gilirannya, otak saya mulai terpaksa memilah dan memilih. Aneka tulisan dengan judul bombastis mulai memuakkan. Rentetan pujian dan hinaan atas suatu peristiwa tak lagi terasa menyengat.

Hingga akhirnya, saya kembali ke buku fisik. Saya kembali ke kebiasaan membaca konvensional yang memaksa saya untuk hanya fokus ke situ. Saya merindukan duduk di bus atau KRL dengan membaca sambil menunggu kemacetan terurai. Setelah beberapa lama menekuninya kembali, saya malah merasa ditarik ke masa lalu. Saya ingin mengaplikasikan apa yang saya baca dengan kenyataan sesungguhnya.

Saya belajar untuk melakukan tadabbur alam dimana di situ saya belajar mengagumi ayat-ayat dari Allah swt. Favorit saya adalah langit, bulan, pohon, bunga liar dan awan. Walau kesemuanya terlihat mirip tetapi saya selalu takjub hati ini merasa segar tiap kali menatap mereka satu per satu.

Saya merasa merangkul ciptaan-Nya melalui indera mata secara langsung menyegarkan jiwa saya. Saya merasa jiwa anak kecil saya kembali hidup. Saya merasa bergairah kembali dalam belajar sebagai murid-Nya yang ingin menjadi pembelajar sejati. Bukan belajar untuk meraih angka, sanjungan hingga komentar dari orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun