Mohon tunggu...
Thessa Samosir
Thessa Samosir Mohon Tunggu... -

Big fan of music, coffee, greentea, and cheese!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Salahkan Orangtuanya

29 September 2017   09:34 Diperbarui: 29 September 2017   13:57 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta, 29 September 2017 -- Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, bukan sekolah juga bukan tempat kursus. Sayangnya, masih ada orangtua yang beranggapan bahwa pendidikan yang terpenting bagi anak-anaknya adalah di sekolah. Tak heran pula jika banyak fenomena anak yang berperilaku menyimpang di sekolah maupun luar sekolah. Dan mirisnya, pihak sekolah yang mendapat tudingan dari orangtua.

Mengapa dikatakan pendidik pertama dan utama? Logika "sepele" saja, seorang anak yang lahir dari rahim ibunya tentu jatuh ke pelukan ibu dan ayahnya, bukan ke pelukan guru dan kepala sekolah (terlepas dari bidan atau dokter yang membantu persalinan). Kemudian, sang anak yang baru lahir ini tentulah tinggal bersama ayah dan ibunya, diasuh dan dibesarkan. Ketika sang anak cukup usianya, barulah ia pun disekolahkan, dan tetap tinggal dirumah bersama orangtuanya. 

Hanya merawat dan membesarkan sajakah tugas orangtua? Tidak! Sebelum anak memasuki ranah sekolah, ia akan menghabiskan waktu bersama orangtuanya. Dari situlah seharusnya orangtua lebih memerhatikan anak-anaknya yang tidak sekadar KMS; Kasi Makan Selesai, atau hanya mengawasi saat dia bermain. Lebih penting daripada itu, orangtua mulai mendidik anak dengan banyak hal positif di rumah dan lingkungan diluar rumah. Bahkan ketika anak "dijebloskan" ke sekolah pun, orangtua tetap berperan penuh dalam "mengawasi" anak-anaknya, yang lebih merujuk pada membangun karakternya. Jelas bahwa orangtua perlu mendapat banyak pengetahuan tentang mendidik anak, mengingat jaman yang semakin berkembang dengan berbagai permasalahan hidup dan kebutuhan yang berbeda dengan jaman dulu.

Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Nonformal, Prof. Saleh Marzuki menyatakan, 

"Sekolah lahir sebagai akibat perubahan yang terjadi di masyarakat dengan berbagai pengetahuan yang semakin luas dan keahlian yang semakin sulit sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diajarkan oleh orangtua.  Pada awalnya, sekolah masih sederhana, dengan mendatangkan guru untuk mengajar sekelompok anak di lingkungan istana, dan sesuai dengan perkembangan lembaga yang diurus oleh beberapa orang dengan pembagian tugas berbeda, serta memerlukan pengaturan atau pengelolaan yang lebih baik. Perkembangan itu semakin kompleks dengan sarana dan prasarana yang semakin canggih seperti sekolah-sekolah modern seperti sekarang ini. Jadi, sebenarnya, sekolah datang terlambat dalam sejarah manusia dan hanya beberapa ratus tahun saja dalam sejarah Eropa, yang sudah tentu merupakan upaya sejumlah kecil dalam presentase penduduk dunia."

Dari pernyataan tersebut bisa kita lihat bahwa tujuan utama sekolah didirikan bukanlah untuk membangun karakter anak, melainkan membantu anak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang dunia. Sayangnya, pendidikan karakter "hits" dalam ranah sekolah, dimana bisa kita lihat jelas di kurikulum pembelajarannya. Belum lagi guru dan pihak sekolah lainnya yang tidak menelusuri mendalam secara "cerdas" kurikulum pembelajaran dan bagaimana sesungguhnya pendidikan karakter; yang penting mengajar saja sesuai kurikulum. Mirisnya lagi, masih banyak orangtua yang tidak mau tahu pula perihal sekolah, sehingga apa yang dikatakan pihak-pihak sekolah, tanggapannya: yah, saya ikut-ikut saja deh, yang penting anak saya pinter. Selesai.

Logikakan saja lagi. Seorang guru dengan katakanlah 30 siswa dikelas. Mampukah ia membangun karakter 30 siswa dengan sifat dan keunikan yang berbeda-beda? Sedangkan mengajarkan matematika, misalkan, mentransferkan ilmu ke 30 siswa saja sulit, karena mereka punya daya kognisi yang berbeda-beda, tidak semua bisa cepat menangkap pelajaran. Belum lagi anak dengan nilai jelek disekolah segera dimarahi orangtuanya, tetapi di rumah tidak mendapatkan "perbaikan" dari orangtua, karena menganggap semua itu tugas guru. Sangat teramat tidak heran, guru dan pihak sekolah pun dipersalahkan, menjadi korban pemikiran dangkal orangtua siswa. Belum lagi perilaku bandel siswa di sekolah dan dirumah. Tetap saja yang disalahkan sekolah. 

Hal penting yang perlu diketahui dan ditanamkan dalam pikiran orangtua, mentransfer ilmu pengetahuan ke anak tidak bisa disamakan dengan mendidik karakter anak. Kognisi bisa berkembang, namun karakter tidak bisa diubah! Jika sejak dini dan dalam pertumbuhannya ia mendapatkan didikan yang kurang baik dan benar dari orangtuanya, maka sangat berpengaruh bagi karakternya hingga dewasa. Misalkan, orangtua yang otoriter, selalu menuntut anak untuk menuruti apa kata orangtua, kemudian tidak memberi kesempatan kepada anak untuk bercerita tentang apa yang dialami, maka ia bisa saja bertumbuh menjadi anak yang introvert, minder, bisa jadi juga pembangkang. Jadi jika anak berperilaku menyimpang, ya salahkan orangtuanya, bukan sekolah, apalagi anaknya.

Karakter seorang anak adalah cerminan dari didikan orangtuanya di masa sekarang. Jelas orangtualah role model bagi anak-anaknya. Maka sebaiknya, orangtua sangat perlu untuk belajar mengenai pendidikan karatakter. Di era modern yang sudah canggih sekarang ini tentu tidak sulit untuk mengetahui banyak hal. Tidak hanya melalui buku atau workshop, bisa diakses pula melalui internet. 

Bahkan ada baiknya, sebelum menjadi orangtua, kita juga perlu belajar dan menabung banyak pengetahuan dan pengalaman baik dalam lingkup lembaga pendidikan maupun diluar itu. Lebih baik lagi jika kita sering menelusuri hal-hal mengenai pendidikan dan parenting,bahkan ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang ada disekolah pun perlu diulik orangtua juga. Sayangnya, masih banyak dari kita sebenarnya menyadari sesuatu yang baik dan benar namun kurang merasa peduli dan berkewajiban untuk melakukannya.

Jika kita tidak mempunyai bekal apa-apa (pengetahuan dan pengalaman) sebelum menjadi orangtua dan tidak memiliki KESADARAN akan pentingnya upaya-upaya dalam mendidik anak, lantas apa yang mau diberikan kepada anak-anak kita? Alhasil kita menjadi orangtua yang "seenak dewe" dan berkuasa bak Adolf Hitler. Kemudian, kebanyakan orangtua menuntut anak menjadi pintar dan selalu juara kelas, namun mengesampingkan pendidikan karakter. Padahal, membangun karakter jauh lebih penting, karena anak akan memiliki self-control dalam mengendalikan emosi, sikap, dan perilaku, yang berlandaskan etika. Jadi, anak-anak tak hanya sekadar pintar, namun memiliki moral yang baik pula, yang jelas menjadi modal besar untuk anak menata masa depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun