Mohon tunggu...
Theressa Gracita Anthony
Theressa Gracita Anthony Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Peluang AI Menggeser Posisi Hakim di Pengadilan

21 Mei 2023   21:45 Diperbarui: 21 Mei 2023   21:56 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Kecanggihan AI (Artificial Intelligence) berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi tren yang terus berlanjut hingga saat ini. Kecerdasan buatan telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa di semua industri seperti kesehatan, keuangan, pendidikan, pertanian, keamanan informasi, dan transportasi. Hal ini ditunjukkan dengan maraknya OpenAI ChatGPT yang banyak digunakan dan sangat populer di industri bahkan di kalangan pelajar. Selain ChatGPT, kecerdasan buatan telah mengubah semua sektor profesional, termasuk profesi hukum. Belakangan ini kita telah dikejutkan dengan kehadiran pengacara berbasis AI di Amerika, tepatnya chatbot DoNotPay. Kini muncul pertanyaan, apakah kecerdasan buatan bisa menggantikan posisi hakim di pengadilan?

Sebelum membahas lebih lanjut, sangat penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengetahui dasar-dasar terkait artificial intelligence. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence adalah cabang ilmu komputer yang berhubungan dengan bagaimana manusia mengetahui, memahami, memprediksi dan memanipulasi hal-hal yang lebih besar dan kompleks dari sebelumnya (Budiharto & Suhartono). 

Kecerdasan buatan diklasifikasikan menjadi Narrow AI dan Strong AI, dua kategori ini juga dikenal sebagai Artificial General Intelligence. Narrow AI adalah sistem yang dilatih untuk melakukan tugas tertentu. AI ini tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemikiran analitis dan penalaran (Alaire et al., 2018; Semmler & Rose, 2017). Di sisi lain ,Strong AI didefinisikan sebagai sistem yang mampu bernalar seperti manusia, dengan kemampuan menarik kesimpulan analitis yang kompleks.

Untuk Indonesia sendiri belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AI, sehingga status hukum AI di Indonesia masih memerlukan pengaturan yang detail dan lebih lanjut. Bilamana kecerdasan buatan digunakan untuk menggantikan peran hakim di pengadilan, maka akan timbul pertanyaan apakah ini berarti kecerdasan buatan dianggap sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban seperti manusia.

Menurut Pasal 11 ayat (8) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008, agen elektronik adalah perangkat sistem elektronik yang dibuat untuk menanggapi informasi elektronik yang dimiliki secara otomatis oleh orang tertentu. Meskipun kata "kecerdasan buatan" tidak disebutkan, istilah agen elektronik secara implisit dapat didefinisikan sebagai bagian dari kecerdasan buatan. Kembali ke topik utama artikel ini: apakah kecerdasan buatan berpeluang menggantikan posisi hakim di pengadilan? Dan haruskah profesi ini benar-benar diambil alih oleh kecerdasan buatan demi terciptanya proses hukum yang lebih efisien?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, beberapa negara telah mengintegrasikan AI ke dalam lembaga hukum, seperti Robot Judge yang ditemukan oleh Estonia, Pengacara Chatbot berdasarkan program DoNotPay yang dirilis pada tahun 2014 di Amerika sebagai pengacara AI pertama di dunia, dan AI sebagai hakim di cyber court di Hangzhou, China pada 2017. Bukti ini menunjukkan bahwa AI memiliki kemampuan untuk menggantikan dan mendampingi hakim di pengadilan. Namun, saya tidak bisa menerima sugesti bahwa AI seharusnya mengambil alih profesi kehakiman.

Hakim AI menggunakan basis data kasus masa lalu yang luas untuk memprediksi keputusan kasus di masa mendatang, dan hakim AI mempertimbangkan kesalahan masa lalu dan bias implisit dari kasus sebelumnya. Kecerdasan buatan juga tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel dengan kebiasaan sosial yang saat ini berlaku di masyarakat atau mengkalibrasi ulang kesalahan masa lalu. Kecerdasan buatan tidak dapat berpikir secara abstrak dan membuat argumen analitis (Becerra, 2018). 

Berdasarkan perkembangan daya komputasi saat ini, kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran diri atau kemampuan untuk memahami kesadaran (Becerra, 2018). Ini adalah keterbatasan utama yang dimiliki sistem AI.

Sistem kecerdasan buatan kurang memiliki kemampuan berpikir kreatif yang sangat penting dalam proses memecahkan masalah (Leg & Bell, 2019). Di sisi lain, masalah hukum tanpa kasus hukum dan preseden yang ada merupakan tantangan bagi sistem AI. 

Sekalipun AI mampu bertindak secara akurat, teknologi tersebut  tidak dapat melakukan interpretasi hukum. Selain itu, keterampilan seperti kemampuan untuk berperkara di berbagai yurisdiksi dengan berbagai jenis sistem hukum, budaya, keterampilan linguistik, dan kemampuan untuk memahami berbagai konteks sosial saat ini berada di luar jangkauan AI (Campbell, 2016). Maka dari itu diharapkan profesi hakim tetap dijalankan sepenuhnya oleh para praktisi hukum manusia yang cakap dalam bidangnya untuk menegakkan keadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun