Bumi selalu berputar, penghuninya pun selalu berubah. Hal tersebut tak hanya sekadar omong kosong atau bualan, namun fakta yang tak bisa dipungkiri. Mulai dari pendidikan, arsitektur, seni, bahkan perekonomian selalu berubah dari masa ke masa.Â
Perubahan tersebut adalah manifestasi dari manusia itu sendiri yang hakikatnya akan selalu mencari, selalu bergerak untuk masa depan yang lebih baik ketimbang generasi pendahulunya. Tiap manusia ingin membuat utopia versinya sendiri di muka bumi ini, dan karenanya dunia akan selalu berubah.
Sejak dahulu, perekonomian selalu menjadi tulang belakang berdirinya suatu negara. Walaupun bentuknya selalu berubah---dari maraknya barter hingga kini transaksi tanpa uang tunai---perekonomian tetap memiliki suatu andil yang besar ketika berbicara soal kemajuan suatu bangsa.Â
Tak hanya ekonomi dalam skala makro, namun juga dalam skala mikro. Maka dari itu, pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun 2020 memberi dampak yang sangat besar pada Indonesia, bahkan dunia. Perekonomian di dunia seakan melambat bahkan nyaris berhenti berputar di semua bagian dunia.
Kini roda tersebut mulai berputar kembali, berada dalam proses pemulihan. Bank Indonesia pun memberi kiat-kiat strategi yang diperlukan dalam menghadapi Covid-19 ini. Setelah dirangkum, pada akhirnya sangat dibutuhkan suatu strategi yang inklusif, yang mengayomi seluruh lapisan dalam masyarakat, sehingga roda tersebut dapat berputar lagi dengan efektif.Â
Ekonomi yang inklusif tersebut tak hanya dibentuk dari orang-orang yang memiliki keahlian di bidang manajemen dan juga bisnis, namun juga mencakup kelompok lainnya, antara lain; pemuda, wanita, dan penyandang disabilitas.Â
Mengapa? Sebab ekonomi inklusif dapat memberi kesempatan yang sama pada tiap kelompok masyarakat, mengingat semua kelompok masyarakat terdampak akibat dari Covid-19 ini, namun tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses yang adil terhadap kegiatan ekonomi.Â
Berdasarkan pengamatan penulis, ketiga kelompok masyarakat tersebut merupakan kelompok yang sering kali dipandang sebelah mata oleh orang-orang pada umumnya, walaupun sebenarnya masing-masing dari mereka memiliki potensi yang begitu besar.
Dulu, tak banyak kesempatan bagi kelompok tersebut untuk terjun ke dalam perekonomian dan memiliki andil besar di dalamnya. Terutama para penyandang disabilitas yang sering kali mengalami stigma dalam kehidupan mereka. Tidak banyak pekerjaan yang tersedia untuk penyandang disabilitas, sehingga sulit bagi mereka untuk mengembangkan kompetensinya yang sebetulnya sangat cemerlang.Â
Namun tak hanya penyandang disabilitas, wanita dan pemuda pun sering kali menghadapi masalah tersebut, menghadapi stigma-stigma yang sering kali tak sesuai dengan diri mereka sesungguhnya. Tak jarang wanita dan pemuda dipandang rendah dan kurang berkompetensi karena mereka menyandang status sebagai wanita dan juga pemuda. Tak hanya itu, tak jarang ada berita mengenai pelecehan pada kaum-kaum ini, baik secara verbal maupun fisik.
Kini, di dalam kemarakan Presidensi G20, ekonomi inklusif menjadi topik yang ramai diperbincangkan. Perekonomian yang mampu mengayomi dan mencakup segala kelompok di dalam masyarakat, dan dapat meningkatkan perekonomian itu sendiri. Ekonomi inklusif merupakan suatu gagasan yang brilian, namun tak mudah untuk dieksekusi di skala yang besar---skala yang kecil pun sulit.Â