Mohon tunggu...
Theresia Sumiyati
Theresia Sumiyati Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/theresiasumiyati8117

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak laki-laki. Senang membaca, menulis, dan bermain musik. Hidup terasa lebih indah dengan adanya bacaan, tulisan, dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jangan Pukul, Pak!

3 Oktober 2022   07:49 Diperbarui: 3 Oktober 2022   07:55 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Jangan Pukul, Pak!

Tiba-tiba saya seperti tersedak. Di mataku menggenang air yang siap meluncur. Saya seperti mengalami kesesakan yang sebenarnya. Kehilangan orang-orang yang dicintai merupakan peristiwa yang menyedihkan. Tak seorang pun ingin mengalami. Bahkan kalau bisa menghindar.

Akan tetapi, siapa yang bisa melakukan itu? Kita manusia seperti sebuah wayang yang siap dimainkan oleh sang dalang. Apapun yang Tuhan buat, kita harus menerima. Hidup  dan mati kita ditentukan oleh sang pemilik kehidupan yaitu Tuhan sendiri.

Sebuah keinginan yang sederhana dan wajar untuk selalu bersama orang-orang yang dicintai sampai kapan pun. Tak ingin terjadi sebuah perpisahan. Namun kita tidak bisa melawan takdir. Semua terjadi dan semua akan mengalami yang namanya perpisahan dan kematian.

Membaca tulisan seorang teman tentang sedihnya ketika maut memisahkan dirinya dengan orang yang dicintai, terasa saya ikut ada di dalamnya.

Perasaan yang sama pernah saya rasakan beberapa waktu yang lalu. Saat itu diri saya seperti kehilangan akal. Bertindak dan berkata seperti orang bodoh, seperti anak kecil yang tidak tahu artinya maut. Berkeras hati ingin mempertahankan apa yang saya miliki. Saya tidak menyadari bahwa sebenarnya saya tidak memilikinya seratus persen. Ada yang lebih berhak yaitu Dia yang memberi kehidupan. Dia juga yang mengambil kehidupan itu.

Entah apa yang ada di dalam pikiranku saat itu. Mungkin ego yang terlalu tinggi membuat saya berkata dan melakukan hal yang aneh. Ketika kakakku sudah berada di dalam peti, para petugas menutup peti itu dan mengunci dengan paku. Supaya kuat paku itu dipukul berkali-kali dengan palu.

"Jangan pukul, Pak!"

Saya berontak dan berkali-kali mengatakan itu. Bukankah itu hal yang tak masuk akal? Petugas itu tidak memperhatikan tangisan dan teriakanku.

Saya putus asa, dan terus menangis. Hati saya tak rela melihat kakakku terkurung di dalam kotak kayu yang bernama peti itu. Saat berikutnya, peti itu dibawa pergi ke sebuah tempat yang jauh. Di sanalah kakakku dimakamkan.

Saat itu saya disadarkan bahwa Tuhan memang telah memanggilnya pulang. Sekeras apapun saya menangis, Tuhan tak akan mengubah keputusan itu. Sebesar apa pun rasa cinta kepada kakakku, tak akan mampu mengembalikan dirinya ke dunia ini..

Manusia memang harus menerima apa keputusan Tuhan, meskipun itu tak semudah mengatakannya.

Hidup dan mati kita, Dia yang menentukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun