"Mau butuh apa?"
"Pengin makan apa?"
"Di rumah sudah ada vitamin?"
Pertanyaan penuh simpati dari rekan saya saat mendengar bahwa sedang sakit. Masih banyak lagi pertanyaan dan sapaan yang lain. Semuanya penuh simpati terhadap saya.
Sakit yang saya derita kali ini memang up to date, tidak ketinggalan zaman. Banyak orang yang mengalami penyakit seperti yang saya alami ini. Bahkan banyak orang yang tidak bisa bertahan dan akhirnya harus menyerah untuk dimakamkan.
Ini merupakan hari ke-dua saya melakukan isolasi mandir. Tidak keluar rumah. Hari-hari harus saya lalui di dalam rumah. Tentu hal ini membuat saya seperti seorang tahanan rumah.Â
Saya harus puas dengan melihat orang dari balik jendela kaca, dan mendengar teriakannya. Kemudian saya balas dengan teriakan juga. Â "Terima kasih", itu saja yang saya katakan.
Banyak kesenangan yang harus dipendam atau bahkan dihilangkan untuk sementara sebagai konsekuensi seorang yang melakukan isolasi mandiri. Kebiasaan jalan keliling kampung saya tahan untuk sementara waktu. Cukuplah saya berjalan dari dapur sampai ruang tamu berulang-ulang. Kunjungan ke rumah kakak-kakak saya juga tidak dilakukan.
Kami bisa saling bertukar wajah dan ngobrol di layar Hp. Keinginan saya untuk mengunjungi pasar dihilangkan juga. Nah dalam hal ini saya mendapatkan kesenangan yang lain.Â
Kakak-kakak dan sahabat saya dengan suka rela menyediakan sayuran, buah, dan lauk. Ada yang merupakan bahan mentah, tetapi ada juga yang merupakan makanan siap santap. Mereka akan menggantungkannya di pintu dan kami saling berteriak untuk memberi dan menerimanya.
Peristiwa yang saya alami membuat mata saya terbuka. Kepedulian yang mereka berikan tidak hanya sebatas kata-kata, tetapi ditunjukkan secara nyata. Mereka ikut meringankan beban yang saya alami, sehingga saya tidak keberatan dengan keadaan saya yang harus di rumah saja. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.Â