Refleksi Seorang Guru: Ketika SKL Menjadi Langit Harapan bagi Siswa
"Masih hangat dalam lemari ingatan saya, kenangan di tahun 90-an. Saat pertama kalinya kaki ini menginjak ruang kelas yang berukuran 7x9 meter persegi -- sebuah ruang yang menjadi saksi bisu, terjadinya proses belajar-mengajar antara murid dan guru."
Sebutan 'guru' yang baru saya sandang memberikan kepastian dan legitimasi diri bahwa saat itu keberadaan saya di kelas bukan sebagai seorang siswa yang siap untuk belajar atau sebagai seorang mahasiswa yang sedang magang untuk melakukan peer teaching.
Predikat sebagai guru yang sah mengisyaratkan saya untuk mengemban tugas sebagai seorang pendidik yang akan memandu proses menumbuhkan akal budi, hati, dan keterampilan hidup dalam diri puluhan siswa yang berada di ruangan kelas.
Baca juga Puisi: Sepotong Waktu Berjalan dalam Diam
Seketika hadir degup yang bergetar dalam dada -- namun bukan karena merasa takut atau gentar, melainkan harap yang diam-diam menyelinap hangat, menyala penuh semangat dalam lubuk hati.
Kini di hadapan saya, hadir wajah-wajah asing namun terasa dekat, penuh tanya -- laksana lembaran kertas putih bersih menanti tangan-tangan terampil melukis coretan bermakna.Â
Dalam hati yang demikian sunyi, membisik kata 'Kamu di sini, bukan sekadar mengajar, tetapi lebih sebagai penjaga arah jiwa-jiwa polos mereka.'
Menyusun Peta Harapan di Kelas dengan Membaca Tatapan Siswa
Entah mengapa, sejak hari itu, sebuah pertanyaan terus menggelitik jiwa ini, layaknya angin yang bertiup mengitari lembah sunyi bernama pikiran, "Akan saya bawa ke mana mereka dan masa depan mereka?"