Usaha Jelang Pensiun: Di Balik Secangkir Kopi Bapak
Senja yang makin merunduk hening di sudut pelabuhan. Aku melihat punggung datar milik Bapak sedang duduk sendiri di sebuah bangku yang terpahat oleh waktu. Ia sedang menatap layar-layar lelah kembali ke rumahnya.
Waktu yang terus mengejar tanpa jeda. Tanpa terasa, Bapak telah lebih dari tiga puluh tahun mengabdikan diri sebagai salah seorang pegawai di Departemen Perhubungan (kini Kementerian Perhubungan).
Dirinya telah menjadi saksi mata bagaimana laut memanggil hidupnya untuk berjuang, mengatur arus lalu lintas sungai yang sedang melakukan berbagai aktivitas di Sungai Musi, sungai terbesar di Provinsi Sumatera Selatan.
Kepulan asap rokok yang terbang melayang - sekejap menghilang tertiup angin senja seakan menjadi teman sejatinya kala itu. Sementara sorot matanya yang terlempar jauh ke depan mengisyaratkan kehampaan tanpa harapan.
Belakangan ini, Bapak terlihat tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia sering menyendiri, termenung di sudut pelabuhan ketika senja mulai menyapa sunyi. Aku tak ingin melihat Bapak terus larut dan kesunyiannya.
Aku datang dalam diam, mendekati Bapak lalu duduk di samping tubuh kekarnya, sejenak aku bersandar sambil memeluk lengannya dengan manja. Ia pun berkata pelan;
"Nak, tidak lama lagi Bapak akan pensiun. Sementara kamu masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Bapak harus bagaimana, ya?"
Ternyata, pertanyaan itu yang selama ini menggelayut di jiwanya sehingga membuat sikap Bapak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Meski Bapak belum pensiun, tapi ia sadar bahwa waktu tidak pernah bisa di ajak kompromi.
Masa bakti Bapak akan segera berganti dengan masa istirahat. Masa yang tak lagi diisi dengan kesibukannya menyiapkan dan mengatur rambu-rambu arus lalu lintas sungai. Semua rutinitas itu berganti dengan keheningan dan kecemasan yang mengimpit jiwanya.
Baca juga: Di Atas Rel yang Sunyi, Aku Menemukan Diriku yang Hilang