Mohon tunggu...
Theresia RE Manurung
Theresia RE Manurung Mohon Tunggu... Mahasiswa - A simple binoculars

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasi Sudah Jadi Bubur, Jadikan Bubur yang Lezat

23 April 2021   21:53 Diperbarui: 23 April 2021   22:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di suatu pagi yang gelap, tepatnya pukul 02.33 aku terbangun dari tidurku dalam kondisi yang belum sadar sepenuhnya. Kudengar suara rebut, agaknya ada orang yang berbincang-bincang sembari tertawa. Lalu aku mengabil gawaiku dan melihat jam, karena masih ngantuk aku melanjutkan tidur. Waktupun berlalu dan ternyata sudah pukul 05.00 pagi, aku terbangun lagi. Dalam kondisi yang belum sadar sepenuhnya, tiba -- tiba aku merenungi suara yang masih saja aku dengar dipukul 02.33 tadi. Ternyata suara itu dari samping rumah kami, segerombol anak muda yang bermain gawai menggunakan wifi tetangga yang memang disewakan.

Pagi itu, mereka berbicara sesuka mereka, dengan nada keras, tertawa bahkan tanpa memikirkan keributan yang mereka buat dapat menggangu orang -- orang yang beristirahat. Lalu, apa latar belakang mereka? Mereka adalah remaja -- remaja yang telah putus sekolah, mungkin ada beberapa yang masih sekolah, yang pastinya mereka remaja -- remaja yang teropium dengan permainan di gawainya, yaitu Mobile Legend.

Mungkin dari kita sudah banyak yang mengetahui game ini, atau bahkan menjadi bagian dari penggemarnya. Salah satu game yang masih tranding saat ini, bersama dengan beberapa game lainnya walau masih kurang peminat. Kami sendiri bukanlah penikmat dari game, terlebih game Mobile Legend. Kami selalu bertanya -- tanya apa yang menjadi daya tarik dari game ini yang membuat muda -- mudi, bahkan anak sekolah dasar begitu tetarik memainkannya. Jika dengan pemikiran sederhana game online ini tidak beda jauh dengan game -- game offline lainnya. Tetapi kenapa mereka harus memainkan yang online, jelas pemborosan.

Mereka membeli voucher wi-fi, tetapi jangkauannya tidak sampai kerumah mereka masing -- masing, sehingga mereka memilih berkorban untuk bermain di warung itu sampai begadang padahal warungnya saja sudah tutup. Biasanya setelah pukul 06.00 pagi, barulah mereka menyelesaikan permainannya itu. Ada yang kembali kerumah masing -- masing, tetapi kadang ada juga yang tidur di pondok -- pondok yang telah dibuat pemilik warung sebagai tempat berduduk santai para pembelinya. Tanpa sadar pagi semakin cerah, orang -- orang sudah melakukan aktifitasnya masing -- masing, melewati warung itu dan melihat mereka yang tidur disana.

Orang tua mereka bukan tidak peduli, memang mereka yang terlalu abai dengan kehidupannya yang sia -- sia itu. Beberapa kali orang tua mereka datang mencari mereka dan melihat anaknya yang tidur di tempat itu. Seketika, tanpa berpikir panjang orang tua mereka itu langsung merepet. Anaknya yang masih ngantuk, membangkitkan badan dan langsung pulang kerumahnya tanpa mengiraukan perkataan orang tuanya.

Dalam repetan orang tua mereka, terlihat bahwa anak -- anaknya itu bukannya tidak di bolehkan tidur dirumah mereka, tetapi mengapa mereka harus tidur di pondok -- pondok layaknya anak yang tidak punya orang tua? Orang tua disini pastilah malu melihat kelakuan anaknya. Dan dari hal ini juga dapat timbul kejadian seperti pada tulisan sebelumnya. Tidak sedikit orang tua yang cemburu melihat anak temannya yang berpendidikan dan baik budi.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan bisa dikembalikan menjadi nasi yang utuh lagi. Orang tua hanya bisa pasrah dengan pendidikan anaknya yang sudah putus, dan membiarkan anak mereka berjalan dalam pekerjaannya sebagai kuli serabutan. Mungkin orang tua mereka masih berharap jika bubur itu bisa menjadi bubur yang lezat dan memuaskan hati. 

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa diperlukan bumbu-bumbu yang bagus, dan dalam benak mereka sudah pasti terlintas bayangan bahwa tidak akan sanggup membeli bumbu tersebut. Mereka tidak sadar, bahwa bumbu -- bumbu yang bagus itu memang sulit diperoleh, tetapi mereka bisa menyediakannya dengan menanam dan merawatnya sendiri. Sekarang memang sudah sulit mengubah sikap dan untuk menyekolahkan anaknya setinggi anak teman -- temannya. Tetapi mereka masih bisa menasehati dan membimbing anaknya pada arah yang lebih baik dan bahkan pekerjaan yang lebih baik, misalnya minta tolong dari kenalannya atau sumber lainnya.

"Di doa ibu ku dengar ada namaku disebut", menjadi lagu yang mengingatkan kita bahwa kuasa doa lebih besar dari apa yang bisa kita perkirakan. Tuhan Sang Pencipta jelas tidak menginginkan ciptaanya rusak, terlebih jika ciptaanya sendiri yang meminta di dalam doa yang khusyuk. Berharap dan tetap percayalah, karena kita semua punya harapan. Semua kembali kepada kita, bisa atau tidak membuka mata, melihat dan kemudian merespon kesempatan baik itu.

Sekian dan Terima kasih, Salam Damai Sejahtera Bagi Kita Semua. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun