Mohon tunggu...
Theresia RE Manurung
Theresia RE Manurung Mohon Tunggu... Mahasiswa - A simple binoculars

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masa Depan si Daun Muda (Naposo Bulung Gerejawi)

20 April 2021   09:04 Diperbarui: 20 April 2021   09:17 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah dari sekolah minggu, anak -- anak yang mulai beranjak dewasa atau sudah dapat dikatakan remaja akan masuk atau dibentuk dalam persekutuan remaja Gereja, yang sering disebut di dalam Gereja "naposo bulung". Jika didefenisikan dari kata perkata, naposo berarti yang muda, bulung berarti daun. Jadi, naposo bulung adalah daun yang muda. Kata naposo bulung merupakan sebuah umpama (tudostudos) dimana Gereja merupakan gambaran dari sebuah pohon yang berakar pada Kristus, oleh sebab itu remaja-remaja atau muda-mudi itu di gambarkan sebagai daun-daun muda dari pohon itu. Namun, pengertian sesungguhnya, naposo bulung berarti perkumpulan, persekutuan remaja-remaja yang dibentuk di dalam Gereja.

Namanya persekutuan berarti membentuk persatuan, perhimpunan, atau ikatan antara satu remaja dengan remaja lainnya. Namun, dalam naposo bulung, tidak hanya persatuan dengan remaja lain yang harus terjalin, tetapi ada tujuan lain yaitu membentuk ikatan antara remaja dengan Tuhan dengan tujuan mengembangkan dan menguatkan keiman dari remaja-remaja tersebut.

Jika kita melihat dari banyaknya remaja Kristen baik di kota maupun di pedesaan, masih banyak yang memilih untuk bergaul di lingkungan bebas daripada mengikuti persekutuan di Gereja. Mungkin ada beberapa alasan yang membuat remaja sulit bergabung ke persekutuan remaja Gereja, seperti kegiatan di Gereja membosankan, tidak sesuai dengan style si remaja, atau tidak sempat karena harus mengikuti program sosial yang lain, dan banyak alasan lainnya. Jika remaja-remaja ini terikat dengan kegiatan sosial yang positif tidak menjadi masalah, yang menjadi bahan pikir adalah remaja-remaja yang bergaul dalam arena yang tidak baik yang dapat merusak masa depannya.

Akhir-akhir ini juga timbul beberapa problema baru yang kami rasakan. Ketika naposo bulung melakukan beberapa kegiatan dibeberapa momen Gereja, seperti ketika perayaan pembukaan tahun di Gereja. Biasanya Gereja membuat acara dan beberapa perlombaan. Perlombaan yang digelarpun berlakukan untuk orang tua, naposo bulung dan anak sekolah minggu. Nah, dalam acara seperti ini, jelaslah yang menjadi peserta lomba akan dipilih dari jemaat yang aktif dalam perkumpulan. Namun ternyata, hal ini menimbulkan kecemburuan bagi beberapa pihak. Hal ini muncul saat beberapa orang tua cemburu melihat anak temannya yang selalu aktif dalam kegiatan Gereja dan selalu mengikuti perlombaan yang di adakan oleh Gereja. Keluarlah ungkapan seperti berikut "Ahhh...anak-anak orang itu aja yang diikutkan, anakku gak pernah."

Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah pihak Gereja mengikutkan seseorang yang tidak ada di dalam kelompok? Patut kita pahami, namanya orang tua pasti akan selalu ingin dan senang melihat anaknya dapat tampil di depan umum. Disaat seperti inilah peran Gereja seharusnya tampak jelas. Tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa remaja yang harusnya menjadi naposo bulung Gereja ternyata didominasi oleh anak-anak yang dalam masa peralihan sifat. Sehingga, emosionalnya masih mudah terombang-ambing. Sama halnya seperti ketika kita hendak membangun suatu bangunan, tiba-tiba ada sebuah batu yang sangat besar datang, maka tidak aka nada waktu untuk kita memindahkannya. Satu-satunya jalan, kita memerlukan bantuan alat pengangkut untuk memindahkannya. Demikian pulalah dalam situasi ini, ketika pihak Gereja ingin membawa anak itu dalam perkumpulan Gereja, tetapi dia keras kepala tidak mau bergabung, maka alat pengangkut disitu ialah orang yang kuat. Kuat disini dalam artian seseorang yang memiliki kedekatan dengan anak yang membuat anak tersebut tidak dapat menolak permintaan orang tersebut.

Biasanya yang memiliki peran tersebut adalah orang tua. Namun sekarang, tidak semua dari orang tua dapat lagi bertindak penuh mengkontrol anaknya. Tidak heran jika terjadi tindakan kekerasan, terlebih dengan sifat manusia yang beragam, ada yang harus diberikan tindakan keras supaya takut dan menurut, tetapi banyak juga pribadi yang apabila ditindak keras akan semakin keras. Situasi -- situasi yang menimbulkan konflik seperti ini, sering menyebabkan perilaku-perilaku yang aneh, canggung dan kalau tidak terkontrol bisa menjadi kenakalan. (Sarwono, 2018: 72)

Ada pernyataan yang menyatakan bahwa keluarga adalah pendidikan yang utama dan pertama bagi seorang anak. Jika di masa remajanya anak sudah susah diatur, layakkah kesalahan sepenuhnya ada pada si anak? Belum tentu, karena garis start (awal) nya ada pada orang tua. Terlebih pada masa peralihan seperti ini, peran orang tua sangat besar dan seharusnya jauh lebih aktif dari anaknya itu sendiri.  Tetapi, kenyataannya masih banyak orang tua yang abai akan hal itu.

Abainya orang tua juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak-anaknya sehingga orang tua tersebut tidak dapat mendidik anaknya secara langsung. Namun, jika seperti itu sama saja orang tua menyusahkan dirinya sendiri. Permasalahan ini semakin tampak, dari seringnya dibawa menjadi renungan persekutuan dan permintaan beberapa orang tua kepada pimpinan Gereja yang meminta untuk mendoakan anaknya agar semakin baik.

Lantas, apa sebenarnya penyebab utama perbedaan itu, mengapa sebagian remaja bisa aktif dan mencintai Gereja, sedangkan remaja yang lainnya sulit. Kembali lagi pada pernyataan diatas, keluarga ada pendidik utama dan pertama. Jika semua sudah berawal dari salah, maka seterusnya akan salah jika tidak segera diperbaiki. Namun, ada juga orang tua yang bukan memperbaiki melainkan mendukung secara tidak langsung. Seperti misalnya, anaknya malas bersekolah, orang tua bukannya memaksa atau membujuk agar anaknya mau melanjutkan pendidikannya, justru dibawa saja untuk bekerja. Orang Batak sangat erat memegang budayanya. Menjadi sebuah tantangan bagi Gereja untuk menciptakan dan membangun sebuah pelayanan yang tepat bagi mereka (Simanjuntak, 2016: 30). Kebudayaan yang dimaksud dalam hal ini bukanlah kebudayaan yang terdapat dalam tiap suku, melainkan kebudayaan dengan pernyataan "kerja dulu baru bisa makan." Pikiran yang mengupayakan anaknya yang bodoh dalam pendidikan tetapi setidaknya kuat dalam bekerja. Sikap salah seperti inilah yang masih banyak berkeliaran bahkan di Negara kita, Indonesia. Zaman sudah berdayaan oleh teknologi, generasi seperti itu mau diposisikan dimana? Padahal, dengan pendidikan anak bisa jauh lebih berkreatifitas, apabila orang tua berperan aktif dari semula.

Kembali pada topik naposo bulung yang besar kini sudah saatnya harus bergerak. Remaja Gereja atau naposo bulung harus membangkitkan semangat dan mengubah pemikiran remaja Kristen yang masih belum bergabung dalam persekutuan Gereja. Puji Tuhan, di beberapa Gereja sudah ada pengupayaan agar naposo bulung Gereja bangkit. Tetapi di beberapa tempat dan di bagian pendesaan mungkin masih sulit dan dalam masa perencanaan. Tetapi semua memang butuh proses. Sedikit demi sedikit itu tidak menjadi masalah daripada tidak sama sekali. Karena memberikan aksi terhadap sebuah harapan akan menghasilkan yang baik. (Tangan Pengharapan, Boomerang Masa Depan: 27 Maret 2021: https://youtu.be/341DCsZFd1Y) Mari bangkitkan spirit keimanan remaja Gereja (naposo bulung) menuju arah yang lebih baik lagi. Sebelum remaja itu berkembang menjadi ranting -- ranting pohon yang lemah dan mudah patah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun