"Ceritakanlah. Aku jarang melihatmu menangis."
"Lolita tidak mau menyusahkan nenek."
"Nenek tidak pernah susah, Lolita. Tidak apa -- apa."
Lolita lalu menengadah dan mengusap air matanya. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya ia bicara kembali.
"Aku, aku, aku sudah memecahkan tembikar baru bikinan bapak. Ia sekarang marah -- marah dan berjalan ke pinggir danau."
Aku menghela napas. "Apa ia membawa tuak anggur Galilea?"
Lolita mengangguk. Aku kembali menghela napas. Bapak Lolita mempunyai kebiasaan buruk yang membuuat keluarganya kadang -- kadang menderita. Aku merogoh saku celanaku dan mengambil empat peser uang. Aku menyerahkannya pada Lolita. Ia cukup terkejut.
"Berikanlah kepada bapak supaya amarahnya reda."
"Ti, tidak apa -- apa, nek? Lalu bagaimana dengan nenek sendiri?"
"Nenek masih banyak duit. Masih bisa untuk beli makan, juga ditabung untuk besok. Nah, sekarang pergilah, susul ayahmu itu."
Lolita tidak buang -- buang waktu dengan mengambil uangku dan berlari ke arah danau. Aku hanya bisa menggeleng dan tersenyum. Lalu aku teringat bahwa hari ini adalah hari ke enam. Besok orang -- orang akan beribadah, tapi untuk menghindari berdesak -- desakan di rumah ibadah, tempat persembahan sudah dibuka mulai sore ini. Dan aku biasanya datang di sore hari. Huh, bagaimana aku bisa lupa akan hal ini?