Andika benar -- benar tidak habis pikir. Ia paham bahwa ia adalah seorang introvert dan penyendiri. Oleh karena itulah temannya sedikit. Di gereja ini, mungkin hanya Robert dan Cendanalah temannya. Dan Robert sedang berada di sampingnya di kebaktian saat ini.
"Bert, aku benar -- benar tidak mengerti."
"Hush, sebentar, aku sedang menyiapkan kolekte."
"Bert, aku tidak mengerti."
Sekali lagi Robert menjawab sebentar. Usai memberikan kolekte, barulah ia meladeni Andika. Robert tahu bahwa Andika memang seorang yang pemikir, dan penuh dengan keresahan. Perkataan berikutnya pasti berupa sebuah komplain. Robert benar.
"Untuk apa sebenarnya kita memberikan kolekte ya, jika hanya dipakai untuk gaji pendeta saja? Bukannya lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Misalnya, anak jalanan dan fakir miskin. Atau, sumbangkan ke panti asuhan dan panti jompo."
Robert tersenyum menyindir, "Jadi menurutmu, pendeta tidak boleh bergaji, begitu?"
"Bukan begitu. Namun menurutku sumbangsih pendeta bagi kualitas kehidupan kita tidaklah besar. Hanya berdoa, berdoa, dan berdoa. Lalu berkotbah. Aku pun bisa melakukan itu semua."
"Kalau kau bisa berkotbah maka gantikanlah beliau di depan altar sana. Gih."
"Kau paham maksudku, sobat. Maksudku, bolehlah pendeta digaji dari persembahan kita, hanya saja proporsinya harus diperhatikan. Jangan besar -- besar amat."
"Ya, memang seperti itu, Andika tampan. Persembahan kita memang tidak digunakan sepenuhnya untuk gaji pendeta. Ada untuk pembangunan gereja, ada juga untuk misi penginjilan, lalu untuk sumbangan kepada yang tidak mampu."