KASUS SAMURAI DOJO
Pk 10.30.
"Kau yakin ini bukan kasus bunuh diri, Charles?"
Charles menatapku dengan tatapan skeptis. "Sejak kapan tuan penyuka kasus pembunuhan berpikir bahwa ini adalah kasus bunuh diri? Kau paling jarang berpikir seperti itu, Kilesa."
"Well, karena sekarang bumi sedang dilanda kasus demam mematikan yang bisa membunuhmu dalam waktu dua hari."
Charles menggeleng, "Belum menjelaskan pertanyaanku."
Kilesa menghela napas. "Tentu saja, kau perlu penjelasan. Kasus demam ini memaksa kita untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun. Orang -- orang menggunakan masker dan menghindari diri dari pertemuan. Sekolah -- sekolah diliburkan, mall -- mall ditutup. Termasuk perguruan bela diri yang akan kita datangi ini. Seharusnya dojo ini tutup sejak bulan Maret lalu, bukankah begitu? Seharusnya tidak ada orang di dalam dojo, apalagi kudengar yang terbunuh adalah seorang mahaguru."
Charles manggut -- manggut, "Tapi aku yakin kasus ini pembunuhan. Tenang saja, Kilesa, aku sangat yakin setelah dibrief oleh Mahmud tadi. Lihat, timnya sedang memasang garis polisi di depan pintu masuk dojo. Kita sudah sampai."
Mahmud mengangguk menyambut kedatangan kami berdua. Aku dan Charles memasuki sebuah gerbang kayu besar dengan aksara -- aksara Jepang tertulis di sampingnya. Seluruh lingkungan dojo dikelilingi oleh tembok kayu bercampur batu setinggi tiga meter sehingga tidak mungkin seseorang memanjat tembok itu, kecuali dengan tangga yang sangat besar. Tapi, well, mereka adalah sekumpulan praktisi bela diri, akrobat setinggi tiga meter bukan hal sulit.
Hanya ada tiga orang yang diperkenalkan oleh Mahmud kepada kami. Cendana, penjaga dojo, berpenampilan kecil dan sepertinya lemah, Yudhistira, seorang praktisi bela diri yang datang untuk latihan, dan Ayudwina, tukang bersih -- bersih yang datang harian. Aku bertanya kepada Mahmud untuk penjelasan.
"Lalu siapakah yang dibunuh?"