Ia terlihat terburu -- buru ketika turun dari mobil, sehingga kami pun juga gelagapan dalam membuntuti. Dengan pistol siap di tangan, beberapa orang sekitar menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi. Kepanikan pun mulai timbul. Terlebih Iqbal terlihat memasuki antrian untuk penerbangan internasional.
Sang pemuda yang merasa bahwa dirinya diikuti akhirnya menyadari keberadaan kami. Wajahnya tampak ketakutan. Ia mengangkat tangan ketika kami menodongkan senjata ke arahnya. Pada akhirnya kami meringkusnya. Kami mengecek kantongnya dan menemukan tiket bahwa ia akan pergi ke Los Angeles, pada pukul enam sore ini.Â
Namun sepertinya pemuda itu tidak akan berada di dalam pesawat. Tim kepolisian memutuskan bahwa Iqbal akan dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Sementara itu, Charles terlihat mengubek -- ubek tong sampah.
"Apa yang kau cari, Charles?"
"Penglihatanku tajam, Kilesa. Sebelum masuk ke antrian, anak itu membuang sesuatu. Bill, sepertinya. Nah, dapat."
Charles membuka remasan dan menemukan sebuah bill belanja sebuah mini market. Yang dibeli adalah sebotol teh susu dan permen asam manis. Namun bukan itu yang menjadi perhatian kami. Tanggalnya adalah 17 Juli 2037. Kemarin. Itu artinya Iqbal pergi ke minimarket. Itu artinya ia pernah keluar kamar. Aku mengernyit.
"Kau yakin bahwa ini punya anak itu, Charles?"
"Seratus persen, Kilesa. Lihat, ada namanya. Anak itu membayar teh susu dan permen dengan debit. Sungguh pemuda konyol." Ia berbalik menatapku, "Itu artinya, Kilesa..."
"Simpan bukti ini, jangan sampai diketahui siapa pun. Semuanya menjadi kacau. Kita akan memahami semuanya di kantor polisi kelak. Kuharap begitu, Charles."
***
Biasanya tim kepolisian memiliki tim investigasi sendiri, namun sekarang aku khusus meminta pak bos untuk mendampingi Yohan dalam menginterogasi Iqbal Patuha. Yang diinterogasi terlihat ketakutan dan bersalah.