Mohon tunggu...
Theodorus Tjatradiningrat
Theodorus Tjatradiningrat Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendeta dan Gembala Jemaat di GPdI House Of Blessing Jakarta

Saya seorang yang suka membaca, menonton film (sendiri atau bersama keluarga) dan ngopi bareng teman-teman di kala senggang. Saya senang bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan karena saya dapat belajar banyak hal dari mereka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

House or Home ? (Mazmur 127:1-2)

4 Oktober 2022   01:06 Diperbarui: 7 Oktober 2022   22:11 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah di tepi danau dengan pemandangan gunung. Sumber: Pexels / Pixabay

"Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah - sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur" (Mazmur 127:1-2).

Kompasianer yang terkasih, masih ingat dengan sinetron Keluarga Cemara? Sinetron legendaris yang menjadi ikon keluarga yang bahagia meskipun mereka tinggal di rumah yang sederhana dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Sinetron yang ditayangkan pada tanggal 6 Oktober 1996 sampai tamatnya pada tanggal 28 Februari 2005 menjadi gambaran keluarga sederhana yang mengutamakan kebersamaan anggota keluarga yang penuh cinta kasih tanpa keinginan yang muluk-muluk untuk memiliki impian yang biasanya dikejar oleh banyak orang sebagai ukuran kesuksesan hidup.

 Kompasianer, hidup di kota-kota besar di Indonesia apalagi di kota metropolitan seperti Jakarta membuat banyak orang yang menggantungkan cita-cita dan harapan mereka untuk bisa meraih kesuksesan karena peluang kerja maupun bisnis sangat besar potensinya di kota dibandingkan dengan di desa. Secara singkat, ukuran kesuksesan seseorang itu adalah jika ia telah memiliki materi yang banyak, kaya atau istilah jaman now disebut crazy rich, bisa membeli segalanya, maka ia merasa hidupnya aman dan bahagia. Paling tidak, seorang pekerja keras di Jakarta akan merasa tenang hatinya jika ia telah memiliki sebuah rumah yang harganya sangat mahal meskipun terletak di pinggiran Jakarta.

Lalu, apakah itu salah? Tentu saja tidak, karena sukses merupakan hal yang lumrah dan pantas bagi seseorang yang telah bekerja keras meniti karir di perusahaan atau mengembangkan bisnisnya sehingga maju dan menghasilkan kekayaan materi sehingga ia bisa membeli rumah yang bagus dan lain sebagainya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah dengan memiliki kekayaan dan rumah yang bagus merupakan tujuan agar dapat membahagiakan sang pemilik rumah baik pribadi maupun keluarganya? Itu sebabnya, saya memberi tema kali ini "House Or Home ?" untuk membuat Kompasianer sedikitnya memahami apa yang dimaksud Salomo di dalam mazmur pengajarannya tersebut.

Perhatikan, arti dari house dan home pada dasarnya sama, tetapi ada perbedaan secara psikologis dan makna emosional keduanya. House lebih merupakan sebuah struktur bangunan yang terbuat dari semen, batu bata dan sebagainya. Sedangkan home adalah tempat di mana orang tinggal dan merasa layak, berhak dan nyaman berada di sana. Jadi, house menunjukkan bangunannya, dan home menunjukkan suasananya. Singkatnya, yang paling ideal adalah jika seseorang memiliki rumah yang suasananya dapat membahagiakan dirinya dan keluarganya. Cukupkah itu? Apakah suasana rumah yang diciptakan arsitek ataukah suasana ala keluarga Cemara yang dimaksud Salomo?

Ingat, Salomo adalah raja Israel terkaya di bumi yang pernah tercatat di Alkitab (1 Raj. 10:14-29) dan ia memiliki rumah atau istana yang sangat mewah menyaingi kemegahan Bait Suci yang dia bangun juga (1 Raj. 6-7). Salomo adalah satu-satunya raja Israel yang tidak pernah mengalami peperangan dalam hidupnya, itulah masa Israel hidup damai dan tenteram selama pemerintahannya (1 Raj. 4:24-25). Tetapi kemudian, Salomo dalam kesuksesan dan kemegahannya menjadi kesia-sian yang tragis ketika ia jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala (1 Raj. 11:1-13).

Itulah sebabnya, Salomo menulis mazmur ini untuk mengingatkan kita semua akan bahayanya bekerja keras tanpa melibatkan Tuhan atau bahkan meninggalkan Tuhan demi mengejar kesuksesan dunia. Setidaknya ada tiga pelajaran penting dari Salomo di ayat 1 dan 2 tersebut. Pertama, rumah yang dibangun tanpa mengandalkan Tuhan hanya menghasilkan kesia-siaan (ayat 1a). Rumah tempat tinggal memang kita yang membangunnya, tetapi suasana yang damai dan tenteram hanya Tuhan yang mengaruniakannya. Rumah tangga memang dibangun oleh suami dan istri, tetapi hanya dengan berkat kasih setia-Nya rumah tangga kita itu akan kokoh sampai maut memisahkan.

Kedua, kota yang dikawal dengan sangat baik tanpa mengandalkan Tuhan hanya menghasilkan kesia-siaan (ayat 1b). Petugas dan perlengkapan keamanan di kota tempat tinggal kita tentu sangat penting untuk diperhatikan, tetapi rasa aman di dalam batin dan pikiran ketika menghadapi rasa takut dan panik pada situasi yang buruk hanya diperoleh di dalam persekutuan kita dengan Tuhan. Petugas keamanan punya keterbatasan personil dan peralatan, tetapi Tuhan sanggup memberikan perlindungan dan keamanan yang kita perlukan di masa darurat.

Ketiga, susah payah bekerja dari pagi sampai malam tanpa memiliki hubungan dengan Tuhan hanya menghasilkan kesia-siaan (ayat 2). Bekerja meniti karir atau mengembangkan bisnis memang harus dilakukan dengan giat, tetapi pangkat, jabatan, dan kekayaan bukanlah tujuan utamanya. Salomo dalam tulisannya yang lain mengatakan bahwa: "Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya" (Ams. 10:22). Jadi, kekayaan dan makanan merupakan anugerah Tuhan semata, susah payahnya tidak mempengaruhi hasilnya. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat, "sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur" (ayat 2c). 

Mengapa? Karena tujuan berkat Tuhan itu untuk menyadarkan bahwa kita adalah pribadi yang sangat dicintai-Nya. Dengan demikian, hubungan kita dengan Tuhan bukanlah hubungan bisnis, untung atau rugi, kaya atau miskin, tetapi berdasarkan iman dan kasih kepada-Nya. Kompasianer yang terkasih, sesungguhnya pandemi Covid 19 telah dipakai Tuhan  untuk menyadarkan semua orang bahwa betapa rapuh dan lemahnya sistem kesehatan dunia yang terbukti tidak dapat menghentikan virus yang sangat kecil itu untuk memporak-porandakan semua hasil kerja yang sangat dibanggakan manusia! Khususnya di Indonesia, lihatlah pandemi Covid 19 telah meluluh lantakkan perekonomian nasional!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun