Mohon tunggu...
niqi carrera
niqi carrera Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sebagai ibu, ikut prihatin dan resah dengan kondisi sekitar yang kadang memberi kabar tidak baik. Dengan tulisan sekedar memberi sumbangsih opini dan solusi bangsa ini agar lebih baik ke depan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perundungan yang Tak Berujung

1 Agustus 2022   00:58 Diperbarui: 1 Agustus 2022   01:03 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus perundungan anak kembali terjadi pada seorang bocah Sekolah Dasar (SD) berinisial F di Tasikmalaya hingga mengakibatkan kematian. Disini korban dipaksa para pelaku untuk mencabuli kucing. Beberapa hari kemudian korban merasa sakit kemudian dinyatakan meninggal dunia. Berita ini tentu saja menambah deret panjang problematika perundungan di Indonesia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 37.381 laporan perundungan dalam kurun waktu 2011 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan. Selain itu, di tahun yang sama, Indonesia juga berada di posisi ke-5 dari 78 negara dengan murid yang mengalami perundungan paling banyak (kompas.com, 20/03/2021).

Layaknya gunung es, data sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi, tetapi tidak mendapat banyak atensi publik. Lalu seseorang yang awalnya korban perundungan biasanya berubah menjadi pelaku di masa mendatang. Bak putaran dalam lingkaran setan. Benarkah kasus perundungan ini tak akan menemukan ujungnya?

*****

Kita harus berani mengakui adanya kegagalan pada pendidikan di level keluarga ikut menjadi salah satu faktor munculnya karakter seorang perundung. Orang tua mengalami disfungsi peran dan disharmonisasi. Orang tua seringkali mengabaikan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Padahal pendidikan karakter pertama bagi anak tentu saja dimulai dari keluarga.

Fakta hari ini menunjukkan masih banyak orang tua yang hanya berfungsi sebagai "pabrik anak", bukan sebagai "sekolah" atau pendidik anak-anaknya. Wajar jika kemudian muncul anak-anak yang anti sosial, suka kekerasan, suka merundung, emosional, mudah mencela dan sebagainya.

Selanjutnya kita juga tidak bisa memungkiri bahwa ini semua adalah dampak dari lingkungan sosial yang sudah semakin sekular dan hedonis. Berlaku prinsip bahwa jika tidak suka maka boleh melawan, kalau benci bisa menentang dan mempersekusi. Inilah getirnya gambaran kehidupan anak dan remaja kita sekarang. Parahnya hal ini diperkuat lagi dengan tontonan dan bacaan yang sangat mudah diakses melalui gawai mereka.

Di sisi lain Negara memang sudah mengantongi regulasi UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Negara juga sudah hadir dengan merancang program yang melindungi anak dari kekerasan, seperti Sekolah Ramah Anak, Pendidikan Karakter, Revolusi Mental dam Kota Layak Anak. Terkini, bahkan pemerintah menggagas Kurikulum Merdeka dan Pelajar Pancasila. Tetapi kasus perundungan seperti bola salju yang terus menggelinding.

Disini kita harusnya bisa mengevaluasi mengapa banyak solusi yang diberikan oleh Negara, namun tak kunjung mampu menyelesaikan masalah perundungan dan kekerasan pada anak dan remaja. Sebenarnya kasus perundungan ini tidak datang dengan sendirinya. Sekularisme yang diadopsi oleh negaralah biang keladi dari semua ini.

Sekularisme tidak mengijinkan agama masuk untuk mengatur masalah dalam ranah kehidupan publik. Sehingga output generasi dari sistem pendidikan sekular adalah generasi yang terbawa arus gaya hidup sekular yang liberal dan hedonis. Kasus perundungan hanyalah salah satu efek sampingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun