Sumber : Dokumentasi Koleksi Pribadi
Jengkol kata orang awak adalah daging. Rasa memang beda dengan rendang namun kelembutan (daging) jengkol ketika disayur dengan daun singkong memang luar biasa lezat. Keluarga kami semua suka jengkol kecuali Uni Ina, entah bersebab apa si Bundo Kanduang sibiran tulang tidak suka. Bisa jadi karena bau (tinggalan) jengkol ketika sudah melewati mulut, dan kampong tengah alias perut akhirnya berlabuh di toilet..
Ya sudahlah, Nikmati saja ketika jengkol direkayasa menjadi nilai tambah dalam bentuk gulai, disambal, di tokok menjadi emping atau dilalap mentah tetap saja memberikan kelezatan luar biasa. Restoran minang tanpa malu malu menawarkan sambal jengkol kepada para tamu khususnya wisatawan manca negara.
“ coba dulu lah tuan, pasti mister like this food “ itulah tawaran si uda pelayan toko melalui komunikasi bahasa basa basi. Entah bagaimana kisah bule makan jengkol belum ada laporan. Diluar itu semua orang minangkabau boleh juga bangga karena lagu nasi padang viral di medsos. Lagu tersebut diciptakan dan dinyanyikan oleh bule yang kesemsem oleh. nasi bungkus padang. Tentu saja lagu dibawakan dengan bahasa inggris.
Awal Agustus 2018 awak diperjalankan ke kampong halaman Tempino Jambi. Kakanda terbaik Uda Buyung Wafat. Kami saudara sekandung 4 orang takziah beserta seluruh sanak family dan kerabat. Rumah keluarga besar awak diladang woneng 12 sedangkan rumah mertua di bawah pasar Tempino.
Sebelum kembali ke Jakarta malam senin awak menginap di rumah ibu Isteri. Pagi bada subuh terdengar kemenakan Cindy berteriak, “ bang bang bang sayur kesini” Awak melongok keluar, terlihat Mertua dan Cindy sedang menawar harga jengkol dan cabe merah.
Hanya 2 macam sayuran yang dibawa Mas Ponadi hari itu. Bermotor roda dua berkeliling menjajakan dagangan di sekitar kampong Tmpino. Dia tinggal di sebelah kampung Pelempang bernama dusun Nyogan. Setiap hari membawa sayur dan buah buahan hasil kebon tetangga yang dikumpulkan dari rumah kerumah.
“jengkol kalau di kupas hargonyo 20.000 sekilo, tapi yang masih berkulit 8 ribu bae” demikian anak keturuan jawa ini berbahasa jambi. Awak tertegun “wah murah banget ya kalau dibanding harga jengkol di ibukota” Mas Ponadi ngak mendengar suara awak, karena ungkapan itu hanya tersirat di dalam hati. Harga hampir seperempat dalam artian ketika Istri membeli jengkol di pasar induk kramatjati seharga 80.000 sekilo itupun masih pakai kulit.
Awak tak tega menawar, langsung saja pesan jengkol 3 kg sudah dikupas. Ibu Hj Yunidar mertua awak membelikan pula cabai merah. “ bawalah cabe merah yang bagus bagus ini untuk Linda dan Eni” Harga cabe Cuma 30,000 sekilo, jangan tanya harga di Jakarta pasti lebih mahal.
Awak pikir kenapa ya harga sayur sayuran dan buah buahan di desa lebih murah. Bisa jadi jengkol dan semacamnya menjadi mahal bersebab pindah dari beberapa tangan tengkulak sebelum sampai ke tangan ibu ibu rumah tangga. “Di kampong kami sayuran itu diambil dari penduduk yang punya kebun” kata Ponidi. Si tukang sayur keliling itu menambahkan “ dari saya langsung ke ibu ibu Tempino” Dengan demikian jalur transportasi hanya lewat satu tangan sehingga harga jengkol dan cabe bisa lebih murah terjangkau.
Coba hitung berapa biaya transportasi dari desa ke Jakarta dan biaya komisi tengkulak dari tangan ke tangan
Ternyata inilah penyebab komoditi herganya menjadi sangat mahal. Harga bahan kebutuhan sembako itu bisa naik 4-6 kali lipat. Itulah persoalan sebenarnya yang harus ditangani serius oleh pemerintah khususnya kementerian terkait berupa kebijakan bagaimana memotong jalur tengkulak tersebut.