Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memasarkan Buku di Era Medsos

19 Agustus 2014   18:47 Diperbarui: 3 September 2019   17:07 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Sosial. (KOMPAS.com)

MENERBITKAN buku satu hal, dan memasarkan hal lain – yang nggak gampang. Jadi dua hal yang mustahak? Hahaha.

Menulis, dan kemudian “menjadi” penulis, diimpikan sebagian orang. Setidaknya, dengan menulis, bisa menularkan kepada orang lain (banyak). Sehingga buah dari pemikiran kita disebarluaskan tanpa mesti “menjadi guru”. Istilah saya: menulis yang baik, dan akan menancap atawa menghunjam dalam relung ke yang membacanya.

Di era informasi sekarang ini, menulis menjadi mudah. Setidaknya, ada media social yang menampung, tanpa kita harus berhadapan dengan Penjaga Gawang yang namanya editor atau semacamnya. Lalu, sebagai wujud tulisan bermarwah, tulisan yang berserak itu dikumpulkan dan dibukukan. Jadi, penulis “sungguhan”, karena punya karya yang lebih monumental – atau panjang usianya.

 Menjadi soal, ketika telah memiliki buku fisik, bagaimana memasarkan “buah pikiran” tersebut? Mengingat ini bukan masalah tulisan di facebook atau semacamnya, yang kerap instan. 

 Sesuai dengan kapasitas tulisan di media social, kenapa jika kita membukukan (fisik) naskah tidak menggunakan lingkungan “media” tersebut?

foto: TS
foto: TS

Buku Cara Narsis Bisa Nulis yang ditulis Rifki Feriandi, yang aktif di media social dan kemudian menjadi anggota Kompasiana atawa Kompasianer, sadar diri. Setelah bukunya jadi dan cukup meyakini menarik, lalu: menjual ke mana?

Maka tidak perlu menggunakan jalur konvensional. Bahwa menjual buku mesti ke toko buku alias dipajang di sana. Mengingat berbagai hal mesti dilewati. Seperti jumlah buku yang mesti dititipkan, dan rabat (atawa diskon) yang cukup besar. Pendeknya, buku dari penulis yang awalnya melalui jalur medsos, mesti mikir.

Lalu, kenapa tidak menoleh ke lingkungan media social itu sendiri? Mengingat:

1. Teman-teman FB yang banyak, bukankah itu pasar? 

2. Kompasianer-Kompasianer itu apa tidak ingin mengenal buah pikirannya?

3. Relasi terdekat di dunia nyata, masak tidak tertarik?

4. Lingkungan kerabat, tentu penasaran seperti apa (isi) bukunya?

5. Getok-tular dengan bantuan istri-teman apa tak pengin membaca bukunya?

6. Mencari celah, dan dijadikan sebuah acara yang bisa mengaitkan dengan buku tersebut. Pertemuan, workshop atau apa pun.

Mungkin masih banyak yang bisa dicantumderetkan. Siapa-siapa sekira buku yang berawal dari media social itu dipasarkan. Mengingat:

a. Buku memang bukan komsumsi atau Sembilan bahan pokok kebutuhan. 

b. Buku yang diterbitkan yang dimulai dari medsos, dan diterbitkan bukan di penerbit mayor, perlu mencari jalannya.

c. Perlu terobosan dan keyakinan, bahwa buku yang ditulis akan “menemukan” jalannya.

Jika demikian, maka sebuah buku dari era medsos, membutuhkan penasaran yang akan membuat penulisanya penasaran: apakah menulis dan membukukan itu gampang? Termasuk memasarkannya. 

Rifki mencoba jalur ini, dan pada hari kedua setelah launching di Kompasiana (Jumat, 15/8) telah menemukan jalannya. Lebih 50 buku telah “terjual”. 

Bisa disebut, dalam bilangan sebulan ke depan, ongkos produksi membukukan tulisan-tulisannya di Kompasiana akan “mencapai” titik impas. Sebuah kebetulan? Tidak. *** 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun