Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pernah, Senja Berdua Tia

13 Januari 2019   03:06 Diperbarui: 13 Januari 2019   03:21 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. Gilli. T

Cerita Minggu Pagi 90

KETIKA langit meredup, aku masih mencangkung. Duduk di atas batu yang tak sempat kuelap atau kulandasi dengan selembar koran yang kubeli di Pantai sana. Mataku masih dipenuhi matahari senja merah dan membulat  tadi pelan-pelan nyungsep di peraduan air laut. Terbayang wajah cantiknya yang selalu sumringah. Di balik kacamata hitamnya, ia seperti ingin menata diri.

                "Jangan sebut ini ini sebuah cinta, T."

                "Lalu apa?"

                "Kerinduanku yang tak terbatas."

                "Apa bedanya?"

                "Kau terlalu baik untukku."

                "Trus?"

                "Ya, aku lebih dari mencintamu. Sungguh. Meski perbedaan banyak membentang."

                Dan aku peluk. Dan ia diam. Dan kami diam.

                Aku masih sendiri menikmati senja yang telah sempurna di atas bebatuan di tempat yang menjadi saksi bisu. Di mana orang-orang merefleksikan diri dalam mementelengi matahari yang seharian bekerja dengan kekuatannya yang maha dahsyat itu.

                "Bukankah matahari itu sama seperti yang kemarin-kemarin juga, Tia?"

                "Ya, T."

                "Lalu apa yang membedakannya?"

                "Kerna dinikmati oleh dua orang yang sedang dirundung asmaradana."

                Aku menelan ludah. Mungkin mereka yang ada di sekitarku duduk mencangkung, sedang diliputi seperti apa yang dikatakan Tia. Menikmati senja, yang terasa lebih indah dan bermakna karena sedang diliputi kidung asmara. Ah, Tia yang entah sekarang apa. Ia tak terjangkau oleh apa pun. Mungkin masih di sana dan menungguku.

                "Ini senja terkahir, T."

                "Apa maksudmu? Takkan ada lagi matahari ...."

                "Ya, matahariku, ya kamu itu."

                "Ah, Tiaaaa ...." Dan kugosok-gosok kepalanya, rambutnya yang tidak sepenuhnya lurus.

                Aku tak peduli dengan senja yang sempurna menjadi malam. Di kejauhan sana kerlip lampu berderet menghiasi tepi laut. Di sana pernah kuselesaikan senja di sini dengan Tia. Menikmati ikan bakar di tepi laut. Di mana empuk daging ikan dan sambal menjadi menyatu dalam diriku dan diri Tia. Yang tak habis-habisnya diwakili tatap mata penuh arti.

                "Di sana tadi, kau menyatakan cinta." Tia menuding ke arah di mana aku duduk sekarang.

                "Di sini pun akan kunyatakan cinta. Apa bedanya?"

                "Bedanya, tadi senja. Sekarang malam."

                Aku menghela nafas dalam-dalam. Kupandang sekitar, tak ada lagi makhluk sepertiku. Mungkin benar, senja telah habis. Mesti diakhiri.

                "Suatu hari, di awal senja...."

                "Trus?"

                "Kita awali hidup kita nanti."

                "Sampai kapan?"

                "Sampai satu di antara kita meninggal. Dan kita tak usah melanjutkan hidup dengan mencari pasangan yang lain."

                "Hm."

                "Nggak cuma hm begitu, T."

                "Kecuali apa, Tia?"

                "Membimbing buah hati kita."

                Aku meski bangkit. Senja telah habis. Dan Tia telah pergi. Tak meninggalkan buah hati -- yang mestinya bisa kubimbing hari ini. ***

Uluwatu-Angkasapuri, medio April 13

                  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun