Aku masih sendiri menikmati senja yang telah sempurna di atas bebatuan di tempat yang menjadi saksi bisu. Di mana orang-orang merefleksikan diri dalam mementelengi matahari yang seharian bekerja dengan kekuatannya yang maha dahsyat itu.
        "Bukankah matahari itu sama seperti yang kemarin-kemarin juga, Tia?"
        "Ya, T."
        "Lalu apa yang membedakannya?"
        "Kerna dinikmati oleh dua orang yang sedang dirundung asmaradana."
        Aku menelan ludah. Mungkin mereka yang ada di sekitarku duduk mencangkung, sedang diliputi seperti apa yang dikatakan Tia. Menikmati senja, yang terasa lebih indah dan bermakna karena sedang diliputi kidung asmara. Ah, Tia yang entah sekarang apa. Ia tak terjangkau oleh apa pun. Mungkin masih di sana dan menungguku.
        "Ini senja terkahir, T."
        "Apa maksudmu? Takkan ada lagi matahari ...."
        "Ya, matahariku, ya kamu itu."
        "Ah, Tiaaaa ...." Dan kugosok-gosok kepalanya, rambutnya yang tidak sepenuhnya lurus.
        Aku tak peduli dengan senja yang sempurna menjadi malam. Di kejauhan sana kerlip lampu berderet menghiasi tepi laut. Di sana pernah kuselesaikan senja di sini dengan Tia. Menikmati ikan bakar di tepi laut. Di mana empuk daging ikan dan sambal menjadi menyatu dalam diriku dan diri Tia. Yang tak habis-habisnya diwakili tatap mata penuh arti.