Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Siapa Sih Manusia Bandara?

2 November 2018   08:37 Diperbarui: 2 November 2018   09:14 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang membedakan naik bis dan pesawat, apa? Jawabannya, yang pertama bisa dari terminal atau menyetop di tengah jalan. Sedangkan kalau naik pesawat, kita mesti dari bandara, bandar udara. Tidak bisa menyetop di sembarang tempat. Juga tidak bisa minta turun selain di bandara juga.

Jadi? Ada aturannya. Alias kita diminta menjadi Manusia Bandara. Yakni mengikuti serangkaian aturan, sebelum naik montor mabur atawa pesawat terbang. Agar selamat, agar tidak tersesat meski sudah pegang tiketnya sekalipun. Kalau ketinggalan? Repot. Keluar uang lebih banyak. Dan tidak tepat waktu (hari yang sama tiba di tempat tujuan seperti tertera di tiket yang dimilikinya).

Buku ringan dan pernak-pernik yang ditulis Dizzman ini menjadi menarik manakala kita menjadi Manusia Bandara. Ia membagikan pengalamannya, agar kita tak jadi linglung seperti orang kampung untuk bepergian atawa berpulang dengan menggunakan bandara sebagai titik pijak bermoda transportasi udara. Kalau bukan pengalaman sendiri, mana mungkin ia bisa menuliskan begini:

"Oh, tadi saya makan bayam, Pak, " saya baru ingat kalau ternyata bayam mengandung besi sehingga membunyikan alarm alat pemindai. Persisnya, ia sempat tertahan di Bandara Ngurah Rai, Bali saat hampir tak lolos pemeriksaan petugas bandara international itu.   

Atawa, ia tak diperbolehkan membawa tongsis. "Yang saya sayangkan adalah perbedaan persepsi antara petugas bandra di Soetta dengan Lombok mengenai boleh tidaknya tongsis dibawa masuk bagasi," catatnya di No Tongsis, halaman 55.

Minta tempat duduk di sisi jendela agar bisa memotret sebagai kegemarannya, ternyata terlontar ke lorong -- yang jauh dari angle untuk bisa memotret (Minta Jendela Dikasih lorong). Terjebak kemacetan, dan mestinya ia tertinggal, eh ternyata malah diganjar dengan naik kelas tempat duduknya. Ditambah dengan bonus di kelas yang lebih dari tiket yang dipegangnya (Telat membawa Berkah).  

Menjadi persoalan, ini menyangkut masalah fasilitas modern di Bandara luar negeri yang dikunjungi penulis. Semisal ia sempat kerepotan untuk tafsir perihal tujuannya: sebenarnya tempat kerjanya di Jakarta Selatan.

"WHERE?" dia tampak mulai naik pitam. Saya terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud pertanyaannya.

"Ministry of Public Works and Housing," jawabnya. Dan oleh petugas bandara di Filipina disambut dengan wajah ceria, "Ooooh, I see."

Sementara, untuk urusan lebih merepotkan ia alami dalam "Serba Otomatis di Toilet" di Bandara Haeda, Jepang. Kenapa? Begitu, tulisnya, tiba di pintu toilet, saya langsung terbengong-bengong melihat banyaknya panel otomati di dekat kloset. "Sayangnya tidak ada shower WC untuk menyemprot sehingga agak sulit untuk membersihkan bagian depan. Terpaksa harus balik badan agar semuanya bersih terkena air," halaman 74.

Unik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun