Sapardi Djoko Damono (SDD): Puisi itu bunyi. Iya, toh? Iya juga. Sepanjang bunyinya (rima) enak di telinga, bahasa-bahasa sederhana tanpa diksi rumit menjadi puisi indah dan panjang usia. Semisal: Hujan BulanJuni, Akuarium, Dukamu Abadi, Aku ingin mencintaimu dengan ederhana. Yang kemudian didendangkan oleh Indah dan Reza (musikalisasi puisi, 1994). Dan itu meluas, bukan karena puisinya. Seperti yang diakui secara jujur oleh profesor Ilmu Budaya Universitas Indonesia kelahiran Solo itu.
Ini dipatuhi oleh Iman Kurniawan. Seorang guru dari Pondok Gede yang menuliskan larik-larik seperti ini:
Cinta
Lima huruf yang membuat seseorang di alam nirwana
Dia hadir saat kau merindukan
Dia hadir saat kau hampa
Belakangan, puisi membuncah di kalangan guru, terutama, pengajar Bahasa Indonesia. Di mana paling tidak saya menampung dan menerbitkan Kepada Bekasi, Sayap-sayap Membentang (Erni Wardhani dkk, Cianjur), Alin, Aku dan Rasa Rindu (Eneng Siti Hajar, Bandung) dan Ungkapan Hati (Aam Nurhasanah, Cirebon).
Antusiasme mereka -- para guru -- menulis dan menerbitkan buku, mudah-mudahan menulari mereka yang tidak hanya membagikan ilmunya -- ilmu bahasa belaka di hadapan para anak didik. Namun ilmu hasil rekaan dan kreativitas mereka sebagai seorang yang sudah selayaknya digugu dan ditiru bagi anak didik. Bukan sebagai guru yang wagu (aneh). Sebab, ini kadang hanya diklaim sebagai milik para seniman teks yang sudah mendedah semisal: Chairil Anwar, WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri hingga Joko Pinurbo.
Puisi-puisi Iman, segaris dengan namanya. Selain cinta, sosial juga religi. Sehingga kita temukan 1/3 Malamyang Syahdu, Kumulai denganB asmallah, Kuketuk PintuLangit. Penulis yang seorang pendidik tidak bermain dengan kata yang mengelantur. Namun ia jalan lurus yang mengandalkan kepekaan seorang pendidik yang punya latar belakang keagamaan. Semisal ia ber-asa kepada anaknya, simak:
Berjanjilah tuk bunda dan abi