Cerita Minggu Pagi 08
Melintasi masjid di sisi kananku, kutangkap dengar suara bening. Dari dalam bangunan dengan arsitektur menjulang, khas tempat ibadah berwarna cerah putih polos mengalir kalam-kalam tentang masa depan.
"Insya Allah kita akan dipertemukan di sana nanti...," potongan itu menyelinap ke telinga, dan masuk ke sanubari. Â Terdalam hati yang sekeping ini.
Aku mengerjap-ngerjap dan duduk rerumputan. Apa iya akan dipertemukan dengannya, masih menyergap dalam gagu ucap. Serenteng dan serentang jarak dari alun-alun ini ke sana ia entah sedang di mana. Karena tak terhubung dengan gadget sebagai andalan selama ia sedang jauh di sana. Ketika kemarin mengatakan sedang berada di Spanyol. Mungkin kini, di Perancis. Saat ia sedang hamil. Untuk misi kebudayaan.
"Jadi, nikmati apalagi kepada Rabb yang kauragukan?"
Der.
Pendar-pendar kunang-kunang di tengah alun-alun tidak lagi indah seperti ketika menikung dari Jalan besar. Ingin kutangkap kunang-kunang itu. Lalu kulontarkan ke mesin waktu untuknya. Yang mungkin ia sedang rasakan di kedinginannya. Walau mungkin ini belum waktunya. Belum musim semi.
"Aku juga agak kedinginan setelah sore tadi sejak turun dari atas Batu. Menekuk kaki di sini, menunggumu berkabar tentang apa saja pun." Aku mendesah. Aku ingin mengelus perutmu yang belum membuncit. Tanganku tampai sampai. Kerna kau tak berkabar: di mana dan sedang apa.
Tak ada jawab. Dan aku kembali dihadapkan kunang-kunang di tengah alun-alun. Suara tausyiah perihal pertemuan. Perihal kenikmatan di dunia. Tak lagi kudengar. Aku mendengar suara, ah bukan. Hanya deru kendaraan lalu-lalang di sini. Dengan kunang-kunang tidak bergerak. Kecuali kepalaku yang memutar pening dihadapkan padanya.
Perut mulai lapar. Lalu bangkit, dan berjalan ke sudut tenggara. Kudengar suara musik entah. Tapi seperti pukulan ke deret kayu dan goyang-goyang angklung.
"R ...!"