Mohon tunggu...
teuku dadek dadek
teuku dadek dadek Mohon Tunggu... -

teuku ahmad dadek, alumnus FH UGM, lahir di Meulaboh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teuku Umar

30 September 2010   02:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

HET VERRAAD VAN TEUKU UMAR

Teuku Dadek

11 Februari 1899, bertepatan bulan Ramadhan, Teuku Umar tersungkur jatuh dihantam peluru Belanda di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, saat para pejuang sedang menunaikan sahur, beliau langsung roboh dan syahid dalam usia yang sangat produktif yaitu 45 tahun, seluruh pasukan kacau balau, sebuah takdir dan ketetapan Allah berlaku. Menurut beberapa sumber kematian tersebut disebabkan peluru yang bersarang di dada sebelah kiri dan juga di usus besar.

Jenazah Ampon Meulaboh dibawa lari, ada versi mengatakan pelarian melalui Pocut Lueng, Suak Raya tepatnya di dusun ---kemudian diberi nama Dusun Kubah Pahlawan, terus dilarikan ke Rantau Panyang – Pocut Reudep – Pasi Meungat dimana beliau sempat dikuburkan selama 6 bulan disamping sang ibunda dan takut diketahui Belanda kemudian dibongkar lagi dan dibawa ke Gunong Cot Manyang dikuburkan 8 bulan dan terakhir dikebumikan di Meugo (sumber Teuku Tjut Yatim).

Di Aceh Barat dan Aceh umumnya, banyak pihak menyakini Teuku Umar langsung syahid di Suak Ujong Kalak dan ini diperkuat oleh penuturan Almarhum Teuku Raja Syahbandar yang ketika masih remaja ikut rombongan Teuku Umar dan kemudian dituturkan kepada Teuku Daud dan HT-Al-Amin Kaan.

Kuburan Teuku Johan Pahlawan mantan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda baru diketahui langsung tanggal 1 Nopember 1917 atau 18 tahun setelah ia mangkat. Seorang pegawai purbakala Belanda atau Oudheidskunddigendienst, J.J.De Vink melihat kuburan Teuku Umar setelah mendapat izin Teuku Chik Ali Akbar (Uleebalang Kaway XVI) dan Teuku Cut Ahmad Panyang, Ulee Balang Meugo, dengan syarat kuburan tersebut tidak diganggu lagi

Begitu lama rakyat Aceh melindungi dan menjaga kuburannya untuk memberikan ketidak-kepastian tentang syahid panglima besar ini serta menjaga stamina pejuang lainnya. Sebaliknya Belanda terpaksa patroli dan kesiagaan yang terus menerus sampai memperoleh kepastian tentang syahidnya Teuku Umar (Perang Kolonial Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh)

Dilahirkan 1854 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Meulaboh, tepatnya di Cot Setuy, Gampong Mesjid, sekarang Gampong Belakang, Kecamatan Johan Pahlawan atau sekitar 100 meter dari Mesjid Nurul Huda sekarang, ia lahir dari seorang ayah yang bernama Teuku Cut Mahmud (kuburan di sekitar Keutapang Wangi Gampong Belakang) dan ibu Cut Meuhani (makam di Pasi Meugat yang kemudian pada tahun 1978 dipindah ke Alue Onn karena akan dimakan erosi sungai Meureubo)

Beberapa Sumber menyatakan Teuku Umar sudah memanggul senjata dan bertempur melawan Belanda sejak usia 19 tahun ketika dimulainya agresi Belanda pertama pada tahun 1873 yang dipimpin Kohler sebagai utusan salah satu gampong dan karir militer Panglima Laut Barat ini berakhir 1899 saat tertembak kerika kerinduannya memuncak pada kampung halaman di Meulaboh di sela-sela pengejaran oleh pihak Belanda.

Banyak pihak bersepkulasi, ada apa gerangan Umar ingin ke Meulaboh? Adakah kerinduan itu semata-mata? Ataukah ada maksud lain, sebuah sumber menyatakan kedatangannya untuk mengepung dan menyerang tangsi militer Belanda di Meulaboh, persiapan penyerangan dipusatkan di Lhok Bubon dan melalui pantai Suak Ujong Kalak, namun Van Heuzt punya siasat siapa tahu Umar ada di sana dan ia memerintahkan komandan lapangan yang bernama Let I JJ Verburg untuk menyerang.

Dua puluh enam tahun membangun karir berbahaya, bersahabat dan bertempur, memanfaatkan Belanda untuk mempersenjatai pasukannya dengan alat-alat modern di waktu itu, dan Teuku Umar telah membangun hubungan dengan Belanda dalam bentuk persahabatan dan sekaligus permusuhan.

Teuku Umar seorang pahlawan nasional, namanya diabadikan seantataro negeri, dari jalan sampai dengan kesatuan militer, sejarahnya diajarkan di sekolah-sekolah, setiap 11 Februari wafatnya diperingati, namun, generasi muda sering disuguhkan terutama di Meulaboh sejarah setelah beliau syahid, drama yang pernah dipentaskan di Suak Ujong Kalak adalah bagaimana ia tertembak, bukan bagaimana ia berjuang, baru-baru ini, kajian yang tidak mendalam dan duga-duga mencoba menelusuri tempat ia pernah dimakamkan.

Teuku Umar fenomena menarik, hubungannya dengan Belanda berjalan fluktuatif, tergantung kepentingan : ia, Aceh dan kepentingan Belanda. Ia satu-satu tokoh yang menyerah kemudian bertempur lagi melawan Belanda dan syahid, ia adalah tokoh besar dimana Belanda, Sultan dan Pemerintah RI menghormatinya. Belanda mengangkatnya sebagai Teuku Umar Johan Pahlawan Panglima Perang Besar Gubernemen Kompeuni dengan tugas membantu Belanda memadamkan pemberontakan di Aceh, Sultanmemberikan gelar Amir Ul Bahar Bagian Barat karena ia mengumpulkan dana dari penjualan lada namun tetap mengirimkan kepada sultan yang sedang dalam pengasingan, Pemerintah RI mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973 karena ia merintis sejarah, membuat Belanda tidak mudah dan sulit dalam menguasai Aceh. (T Tjut Yatim seorang tokoh di Meulaboh mengatakan, Teuku Umar diangkat pahlawan Nasional 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955 dan diperingati untuk pertama sekali tahun 1957 dan Cut Nyak Dhien diangkat jadi pahlawan 1964 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964),

Mengapa Bekerjsama?

Sejak kecil saya bertanya, mengapa Teuku Umar diangkat menjadi pahlawan nasional? Apa pertimbangannya? Apa yang dilakukannya sehingga ia layak menjadi pahlawan nasional?Pertanyaan yang menyelimuti kepala saya itu, memaksa saya membaca dan mendengar banyak kisah tentang Teuku Umar, Buku Paul Van Teer, Perang Aceh yang diterbitkan Grafiti Pers, Zentggraaff tentang Perang Aceh, Asal Mula Konflik Aceh (Anthony Reid) sumber keluarga dan digital, saya buru untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut..

Namun, saya terkesima dengan catatan sejarah yang dibuat Panglima Tinggi Penguasa Laot Bagian Barat Aceh ini. Dalam bukunya Perang Aceh, Paul Van Teer menyatakan, Umar seorang pribadi yang unik, ia bisa hidup dengan gaya Eropah di rumahnya, Lam Pisang yang dibangun oleh Belanda, kemudian dibakar oleh Belanda sendiri 30 Maret 1896 karena Umar “berkhianat”

Teuku Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang baron dengan andalan pengaruh, keseganan, kuasa, perdagangan lada dan pemurah di tengah-tengah pengikutnya yang fanatik nan sejahtera, namun Umar juga bisa berperang bergerilya di hutan-hutan Aceh, hidup dalam kesusahan, berperang bertelanjang kaki. Paul juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.

Pertanyaan seputar mengapa Teuku Umar mesti bekerjasama dengan Belanda adalah pertanyaan yang sulit dijawab sebab jawaban tentunya hanya diketahui oleh Teuku Umar sendiri, namun dalam perjalanan sejarahnya, saya menemukan beberapa alasan.

Pertama kerjasama tersebut dalam upaya untuk mencari dan mendanai/meringankan biaya perangbagi tokoh-tokoh dan kalangan istana Aceh dalam upaya melawan Belanda. Ini terbukti bahwa Teuku Umar membagi hasil uang yang diperoleh dari Belanda kepada Sultan dan panglima, Umar membentuk persektuan yang kuat dengan Teungku Chik Kutakarang. mereka berdua sangat menentang kebijakan kelompok gerilyawan pimpinan putra-putra Teungku Chik Di Tiro yaitu Mat Amin dan Teungku Beb yang berusaha menegakkan hak sabil di XXV Mukim, karenanya Teungku Kutakarang mengajarkan kepada muridnya yang juga ulama bahwa memerangi Teuku Umar bukan dikategorikan perang suci. (Anthony Reid, Asal Usul Konflik Aceh).

Namun, saya meragukan adanya persaingan antara kelompok Umar dengan keluarga Teungku Chik di Tiro. Ulama karismatik Tiro ini memang sering mengingatkan Umar agar selalu memperhatikan perannnya dalam hubungan dengan Belanda dan perang suci yang sedang Tiro lancarkan. Sebuah sumber disebutkan bahwa anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien yang bernama Tjut Gambang diperistri oleh Teungku Majet di Tiro yang merupakan anak dari Teungku Tiro tua.

Umar juga dikenal sebagai tokoh yang membiayai perang dengan menggunakan uangnya sendiri. Dengan dana yang bersumber dari ekpor lada, Umar menguasai perdagangan lada dalam tangannya sendiri dan ia memunggut pajak dari lada untuk daerah – daerah lainnya sebesar $ 0,25 per pikul atas nama sultan,

Kekayaan ini dengan murah hati dibagi-bagikannya kepada para pengikut, istana, kaum ulama di Keumala yang sedang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ia akhirnya dianugerahi pengakuan resmi oleh sultan sebagai Amir ul bahar pantai barat (Asal Mula Konflik Aceh, Anthony Reid)

Kedua, Teuku Umar ingin memperkecil kontak tembak antara Belanda yang dilengkapi senjata modern dengan para gerilyawan yang memiliki senjata sangat terbatas. Peperangan antara kubu Sultan yang didukung sepenuhnya oleh Panglima Polem, para ulama dan Ulee Balang di Mukim XXV dan XXVI telah memakan banyak korban terutama di pihak Aceh.

Belanda terus melakukan upaya memperluas kekuasaannya di luar lini konsentrasi, namun mereka juga menyadari bahwa biaya perang dan korban dari pihak mereka juga tidak sedikit dan penguasaan daerah di luar lini konsentrasi hanya bersifat semu, dengan kata lain cuma di sekitar pos yang mereka bangun, Belanda berkuasa.

Kondisi ini dimanfaatkan Teuku Umar sebagai penghubung antara kedua belah pihak namun dengan tetap memikirkan kepentingan pihak Aceh, dan beberapa lama Umar berhasil menurunkan intensitas kontak tembak di daerah tersebut, yang oleh Reid disebutkan tidak karena kemampuan militernya tetapi karena caranya dalam mendekati para pejuang Aceh dan keluwesannya dalam berhadapan dengan orang lain dan kemudian membujuk sebagian besar uleebalang dan ulama yang paling terkemuka bahwa kepentingan mereka akan dijaga dengan cara pura-pura setia kepada Belanda

Ketiga sebagai seorang yang terhormat di kalangan suku dan rakyatnya, tidak mungkin ia mengandaikan kehormatan diri dan keluarganya kepada Belanda hanya ingin mendapatkan keuntungan sesaat, justru kekuatan senjata Aceh tidak seimbang dan personil yang tidak terlatih perlu dimodernkan dan dilatih. Untuk memperoleh senjata yang modern maka salah satu cara yang paling efektif mererbut hati Belanda sekaligus senjatanya,

Nisero dan Hok Canton

Seperti yang dikatakan Al-Quran, akhir hiduplah yang menentukan siapa manusia yang sebenarnya, Umar bisa saja dianggap orang mengedepankan kepentingannya dengan Belanda, ketika musim lada harus dijual, ia mencari celah mendekati Belanda agar pengapalan ladanya tidak terganggu. Namun ketika ia dilecehkan sebagai seorang pribumi Aceh yang mempunyai martabat dan harga diri, dengan tidak segan-segan mengambil langkah mencerai Belanda sebagaimana ia tunjukan dalam peristiwa Nisero.

Catatan harian seorang mualim III mesin kapal Nisero, William Bradley mengatakan saat disandera oleh Teuku Imeum Muda Teunom (saingan berat Teuku Umar) pada tanggal 8 November 1883, kapal uap milik Inggris yang berbobot 1800 Tons tersebut, dibawah nakhoda Capt. W.S. Woodhouse, terdampar di pantai Kerajaan Teunom dekat Panga, pantai barat Aceh.

Berlayar dari Surabaya ke Marseille, dengan mengangkut gula dengan awak kapal yang terdiri dari berbagai bangsa yaitu 10 Inggris, 2 Belanda, 2 Jerman, 2 Norwegia, 2 Italia dan satu Amerika. Saat terdampar di pantai Teunom, mereka semua disandera oleh Raja Teunom dan dibawa ke pedalaman. Raja meminta tebusan kendatipun ia telah menanda-tangani pengakuan kedaulatan dibawah Belanda (korte verklaring).

Kejadian ini menyebabkan perseteruan diplomatik antara Belanda dengan Inggris yang sangat marah kepada Belanda yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan di perairan Aceh. Kaitannya dengan Teuku Umar adalah secara diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Sebagaiman yang dikutip Paul Van Teer, akhirnya Teuku Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini.

Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal Belanda, Boenkulen diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak seperti seorang kuli, diperlakukan secara tidak hormat, dimaki oleh kelasi Belanda yang sedang mabuk.

Teuku Umar tersinggung dan tipikal Orang Aceh terhormat kertika diremehkan oleh Belanda, dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci di pantai Panga, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom.

Sukses besar Raja Imam Muda Teunom dalam menjadikan Kapal Nisero sebagai pusat dan andalan dalam diplomasi internasional dan memperoleh keuntungan yang besar dari tembusan, telah mendorong Teuku Umar untuk melakukan hal sama terhadap kapal lain yang menjadi mitra dagangnya.

Pada tanggal 14 Juli 1886 Kapal Hok Canton, membuang sauh di Pantai Rigah untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar. Kapal dinakhodai Hansen ini bersauh di Rigah, sekitar 40 prajurit Teuku Umar menaiki kapal dan menahan semua perwira berkebangsaan Eropah, termasuk Hansen bersama istrinya.

Dalam upaya penawanan, perwira Eropah melawan, dua orang ABK tewas, sedangkan Hansen sendiri mengalami luka parah, kemudian meninggal dalam tahanan beberapa hari kemudian, Ny Hansen dan perwira kamar mesin dua Foy yang berbangsa Scotlandia ditawan oleh Teuku Umar, serta harta rampasan yang cukup banyak diangkut ke darat

Penyanderaan Kapal Hok Canton oleh Teuku Umar ini, beberapa catatan sejarah dipicu oleh sentimen pribadi kepada Hansen. Pada bulan Juni 1886 Teuku Umar hendak diculik oleh Hansenkarena tergoda harga kepala Teuku Umar senilai 25.000 ringgit yang dijanjikan Belanda dan ia meminta kepada Teuku Umar untuk datang ke kapal untuk mengambil sendiri uang lada dan rencananya Hansen akan menculik saat mengambil uang tersebut. Namun, dugaan ingin mencapai kesuksesan diperoleh saingan berat Teuku Umar, yaitu Teuku Raja Imeum Muda Teunom mendapat untung dari persitiwa Nisero dan ia ingin menggunakan Hok Canton untuk tujuan yang sama.

Penyanderaan Hok Canton menimbulkan reaksi dan suasana panas di Penang untuk mengutuk Belanda sebagai penyebab keadaan tidak aman di Aceh. Tidak sebagaimana kasus Nisero, Teuku Umar tidak dapat mengharap banyak untuk simpati siapa pun, baik Pemerintah Inggris maupun pemerintah negara lain tidak menaruh perhatian dalam persoalan ini.

Mengapa? Sebab Kapal Hok Canton kendatipun berpangkalan di Penang, namun kapal tersebut didaftar di Ulee Lhee dengan demikian ia adalah kapal Aceh. Karena itu Teuku Umar harus puas dengan tebusan dari Belanda sebesar $ 25.000,-

Khianati Belanda

Snouck Hurgronje mmemanfaatkan kedudukan Gubernur Jenderal yang baru yaitu Jhr.C.H.A Van der Wijck yang diangkat Oktober 1893 untuk mengizinkan Kolonel Deijkerhoff untuk memanfaatkan dengan penuh kehati-hatian Teuku Umar yang telah menyerah pada akhir bulan September 1893. Umar diberi senjata dan uang untuk tugas membersihkan wilayah XXV mukim dan XXVI mukim di luar garis pertahanan Belanda.

Dan untuk memperkuat pasukannya dalam memadamkan pemberotakan di Aceh Besar, tanggal 1 Januari 1894, Umar menerima bantuan militer dari Belanda untuk membentuk legiun modern dalam upaya memadamkan pemberontakan di segi tiga Aceh Besar, dengan kekuatan pasukan modern dengan dilengkapi senjata 880 pucuk (bandingkan dengan penyerahan senjata oleh GAM), amunisi 25.000 butir peluru, Umar telah memiliki sebuah peralatan perang yang mencukupi dan sekaligus kepercayaan Belanda.

Selama dua tahun lebih ia bekerjasama dengan Belanda untuk memerangi terutama Lam Krak. Namun pertanyaannya mengapa kemudian Teuku Umar memutuskan untuk kembali berjuang bersama bangsa Aceh pada tahun 1896? Apa yang memotivasi ia untuk cabut dan lari dari Belanda? Inilah yang oleh Belanda dicatat sebagai Het Verraad Van Teuku Umar atau pengkhiatan Teuku Umar

Ada yang mengatakan bahwa Pertama, Cut Nyak Dhien lah yang menjadi fokus yang menyebabkan Teuku Umar kembali berjuang di jalan Allah, Cut Nyak Dhien, seorang wanita kokoh berprinsip, bepegang teguh kepada agama, ia menyakin sepenuhnya kehidupan akhirat dan perjuangan suci dalam melawan Belanda.

Cut Nyak telah menyakinkan Teuku Umar untuk kembali berjuang bersama rakyat Aceh, Cut Nyak Dhien, sosok yang sangat beragama dan selalu membujuk sang suami untuk tetap kembali berjuang untuk rakyat Aceh dan ini dibuktikan setelah syahidnya sang suami, ia meeruskan perjuangan Teuku Umar hingga tertangkap pada 4 Nopember 1905 dan dibuang ke Seumeudang dan meninggal di pengasingan pada tahun 6 Nopember 1908.

Cut Nyak Dhien bukan satu-satunnya istri Teuku Umar, namun ia adalah istri yang paling mempengaruhi kehidupan Teuku Umar. Catatan keluarga mengatakan bahwa Umar saat lajang kawin pertama sekali dengan Cut Nyak Dhien yang ketika itu sudah janda, namun ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Cut Nyak Dhien adalah istri ketiga, sumber-sumber keluarga mengatakan bahwa paling tidak Teuku Umar memiliki tiga istri yaitu Cut Nyak Dhien, Cut Meuligoe, Cut Nyak Sapiah.

Dengan Cut Nyak Dhien, Umar memiliki anak perempuan, Tjut Gambang menjadi istri Teungku Majet di Tiro dan anak laki-laki, Teuku Raja Batak yang meninggal di Beutong, Pante Ceureumen dalam pertempuran yang sudah dipimpin Cut Nyak Dhien, namun ada sumber lainnya yang mengatakan bahwa Teuku Raja Batak ini adalah kemenakan dari Cut Nyak Dhien.

Istri berikutnya Cut Meuligou memilikidua anak yaitu Teuku Raja Sulaiman dan Cut Mariyam. Teuku Raja Sulaiman punya keturunan juga diberi nama Teuku Umar yang merupakan orang tua Teuku Usman Basyah yang sekarang menjabat Asisten I Setdakab Aceh Barat. Cut Mariyam bersuamikan Teuku Ali Baet. Namun, sumber Belanda yang ditulis dalam buku Helden Seire, Ded VIII yang berjudul Teukoe Oema yang diterbitkan oleh Populaire Witgave Van Heet Atjechsch Leger Meseum 1940 menyatakan bahwa dengan Cut Meuligoe ini, Umar memiliki tidak hanya dua anak tetapi lebih yaitu Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh dan Teuku Bidin.

Kemudian Teuku Umar juga kawin dengan Cut Nyak Sapiah. Perkawinan dengan tiga wanita utama ini diungkap dalam sebuah hadih maja Aceh : Cut Nyak Dhien geutung ke gagah, Cut Meuligoe geutung keu tuah, Cut Nyak Sapiah Geutung keu bangsa.

Sumber Belanda menyatakan, Teuku Umar tidak hanya memiliki tiga istri, tetapi juga melakukan perkawinan-perkawinan dengan alasan politik maupun ekonomi, misalnya perkawinan dengan Cut Manyak, Cut Haluh anak Panglima Djamei Keumala, Cut Manih anak Tjut Tunong Rigaih dan Cut Bungsu anak Haji Dai Krueng Sabee. (Baca Silsilah Teuku Umar atau Stamboom Teuku Oema yang dimuat dalam buku Helden Seire, Ded VIII yang berjudul Teukoe Oema yang diterbitkan oleh Populaire Witgave Van Heet Atjechsch Leger Meseum 1940. Namun tidak diketahui apakah perkawinan tersebut dalam satu waktu atau kawin - cerai.

Kedua, juga ada yang mengatakan bahwa Teuku Umarlah sendiri yang menyusun strategi tersebut untuk memperoleh dukungan logistik militer dengan memanfaatkan kepercayaan Belanda. Dengan kepercayaan ini, ia memperoleh banyak senjata dan amunisi untuk balik menyerang Belanda. Ini terbukti, bahwa perintah untuk peperangan yang dilakukan Teuku Umar dengan para pengikut Sultan, Ulama dan Ulee Balang di Aceh Besar lebih banyak sandiwaranya, dimanaUmar menghambur-hamburkan uang Belanda kepada “pemberotak’ di Aceh Besar dan mengharuskan mereka berpura-pura mundur.

Ketiga : mempertimbangkan dan mengingat perasaan hati para ulama, Teuku Umar tidak bersedia lagi melancarkan serangan atas pusat penting milik kaum ulama terutama di VII Mukim Baet, tidak mungkin lagi bagi Teuku Umar untuk menyelaraskan tuntutan-tuntutan Belanda dengan kedudukan terhormat di antara rakyatnya sendiri.

Pemerintah Belanda telah memilih dan mempercayai Teuku Umar untuk membantu mereka memperluas teritorialnya, sebab selama ini mereka hanya berkuasa secara defacto di lini kosentrasi. Namun kenyataannya Teuku Umar menggunakan kesempatan tersebut untuk membangun kekuatan bersenjata yang lebih kuat, seluruh pasukannya berbelot pada tahun 1896 dan selama tiga tahun penuh Teuku Umar mengabdikan dirinya melawan kolonial sampai pada Februari 1899 saat ia tertembak.

Inilah sejarah kelam dalam kolonial Belanda dimana mereka telah mengambil sebuah kebijakan yang salah dengan memberikan senjata dan kebutuhan militer lainnya untuk membunuh diri mereka sendiri, mereka mencatatnya dibawah topik "Het verraad van Teuku Umar" atau Pengkhiatan Teuku Umar yang menguncang seluruh Belanda sampai lahir lagu gantung Teuku Umar. Bagi Belanda, Umar adalah pengkhianat , namun bagi Aceh ia adalah fenomena baru yang memberikan inspirasi bahwa dalam keadaan apapun kita bisa melakukan apa saja.

Saya baru sadar, Umarlah yang telah menjadi mata rantai perjuang rakyat Aceh melawan penjajahan bersama Teungku Tjik Di Tiro (seluruh keluarga habis syahid), Panglima Polem (yang kemudian menyerah) Sultan Aceh (menyerah secara suka rela dan dibuang ke Ambon dan kemudian meninggal di Batavia) dan para pejuang lainnya dan kemudian diteruskan oleh Cut Nyak Dhien (ditangkap dan dibuang ke Sumedang).

Selama tiga tahun penuh dan tahun-tahun sebelumnya serta sampai akhir hayatnya, ia bertempur melawan Belanda, padahal kalau seandainya ia seorang opurtunis, ia tidak perlu lagi membelot ke pihak Aceh sebab rumah,kuasa, pengaruh, pasukan, sengketa, uang dan perintah militer ada di tangannya, karena ia seorang pahlawan sejati semua kedekatannya dengan Belanda hanya upaya untuk mengambil sumber daya militer untuk melawan sebuah korp militer yang kuat pula, untuk membela agama dan tanah tercinta Aceh. (Esais, tinggal di Meulaboh)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun