Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amplop buat Ibu

30 Januari 2023   21:43 Diperbarui: 30 Januari 2023   22:01 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan cerpen Amplop buat Ibu (Dokpri)

Ah, pertanyaan itu. Selalu disampaikan setiap bulan. Sepertinya, hal ini tak pernah lepas dari ingatan ibu mertuanya. Tak cukupkah uang bulanan sebelumnya? Mengapa harus menuntut uang bulanan dari ketiga anaknya?

"Danang juga. Ini kan sudah tanggal muda. Malah udah tanggal tujuh ya? Apa sudah mengirim uang?"

Luar biasa ingatan beliau. Soal uang tak pernah lupa. Itulah mungkin yang menjauhkan ibu dengan anak dan menantu lainnya, pikir Ratih.

Memang, sejak menikah, tiga bersaudara putra Bu Milah diwajibkan mengirim sejumlah uang sebagai tanda bakti pada ibunya. Amplop bulanan ini tak boleh telat, tak boleh absen, bahkan jumlahnya pun tak boleh kurang dari ketentuan. Bu Milah akan sangat marah jika hal tersebut dilanggar oleh anak-anaknya. Tentu saja hal ini memicu rasa iri pada menantu-menantunya.

Bukan sekali dua kali pertengkaran terjadi antara Danang dengan istrinya. Juga Dandi dengan istrinya. Ratih pun pernah protes pada suaminya. Namun selanjutnya ia menahan diri. Lantaran ketiga anaknya ternyata laki-laki semua. Kalau ia tak mengizinkan Didan membiayai ibunya, ia takut kelak akan ditelantarkan anak-anaknya.

Istri Danang malah sempat tak mau pulang lantaran cemburu pada mertuanya sendiri. Bagaimana tidak, setiap bulan ia harus menghemat agar dapur bisa mengepul hingga akhir bulan, sedangkan amplop pada mertuanya tak pernah absen.

Sebenarnya, Ratih pun agak cemburu tiap kali menyaksikan sang suami memberikan amplop pada ibunya. Tapi mau bagaimana lagi. Ia tak pandai mengungkapkan kemarahan atau kecemburuan. Tiap kali hendak menghamburkan protes pada suaminya, tiap kali luluh hatinya.

 "Nanti saya lihat. Mungkin sudah masuk rekening Ibu."

Bu Milah menarik napas panjang. Lega mendengar kata-kata Ratih.

"Kalau sudah masuk rekening, cepet ambil. Aku mau selesaikan zikirku sebelum zuhur tiba."

Ratih mengerti. Mertuanya tak mau diganggu. Ia keluar dari kamar setelah membereskan alat makan dan menutup pintu perlahan-lahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun