Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Hari Ibu] Ibunya Ibuku Berharap Bisa Menimang Canggah (Generasi Ke-6) “Selamat Hari Ibu, Nek…”

22 Desember 2011   01:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_150469" align="aligncenter" width="300" caption="Ibuku dan ibunya : "][/caption]

"Emak masih ingat lahir tahun berapa?" begitu kira-kira kakak sepupuku yang telah berkeluarga iseng bertanya dalam bahasa Sunda. Selepas shalat subuh berjamaah pagi tadi, kami sekeluarga berbincang hangat di ruang tengah.

"Ah, boro-boro ingat." Nenek melengos sambil membetulkan kerudungnya. "Yang pasti saat kecil itu wahon masih jadi milik orang Walanda." Begitu kira-kira ucapan Nenek setelah aku terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

"Hidup juga masih susah. Sering mengungsi," lanjut Nenek terbata-bata sembari menerawang.

"Emak mah aneh, masa tanggal, bulan dan tahun lahir sendiri lupa, tapi nilai mata uang tidak lupa," ujar bibiku (anak bungsu nenek) mencandainya.

"Kalo gitu Buyut matre juga ya?" celoteh Neng Mitha, anak dari kakak sepupuku yang lain dengan spontan, diikuti tawa renyah semua keluarga yang ada di rumahku pagi ini.

"Hust! Gak boleh bilang begitu!" kakak dari ibuku (anak tertua nenek) mencoba memperingati cucunya yang menurutnya bicara asal bunyi itu.

Sementara yang lain termasuk aku masih tertawa-tawa. Tentu saja bukan menertawakan nenek, melainkan merasa lucu saja dengan celotehan Neng Mitha terhadap buyutnya. Rasanya akrab dan hangat bisa berbincang santai saat sebagian besar keluarga tengah berkumpul. Belum tentu keluarga lain bisa berkumpul seperti keluargaku hari ini. Lima generasi dari nenekku ke bawah ada dan berkumpul di rumahku. Nenekku, ibuku beserta saudara-saudaranya, cucu-cucunya, buyut-buyutnya, dan beberapa orang cicit.

Hari ini, 22 Desember, orang-orang memperingatinya sebagai hari ibu. Secara kebetulan, hari ini nenekku yang tak diketahui usianya berapa (kecuali dikira-kira) berada di rumahku.

Dari pihak almarhum bapak, nenek dan kakekku di Tasikmalaya sudah tiada. Tinggal nenek dari pihak ibuku di Cianjur inilah yang masih ada.

Sejujurnya, aku salut sama nenek. Meski ia tak ingat kapan ia lahir, meski kawan-kawan satu angkatannya telah lama tiada, namun nenekku masih tampak sehat dan bisa melakukan aktivitas sehari-harinya. Meski gigi nenek tinggal dua dan itupun dipastikannya sebentar lagi akan tanggal tapi nenek masih bisa makan nasi sendiri. Melakukan sahur dan berbuka puasa sendiri jika saja anak serta cucu-cucunya tak memaksanya untuk tinggal bersama.

Saat nenek tinggal sendiri di Pagelaran, ia masih bekerja ke sawah. Meskipun musim hujan membuat jalan galengan becek dan licin, nenek hanya dengan mengandalkan tongkat yang dibuatnya asal dari potongan bambu muda masih tetap berangkat juga. Nenek tak jera meski beberapa kali telah tersungkur --jatuh-- dan tak bisa berdiri sebelum ada orang yang menolongnya. Setelah beberapa kali kejadian  itu, nenek baru mau diajak tinggal bersama bibi dan paman --adik-adik ibuku. Meski ke sawah tak pernah ditinggalkannya, tapi paling tidak sejak itu ada yang mengawasi nenek.

Nenek memang lupa kapan ia dilahirkan, tapi nenek tidak pikun. Nenek masih bisa menjalankan sholat lima waktu tepat waktu. Nenek masih bisa mengaji Al-Quran tanpa menggunakan kaca mata. Nenek yang sangat tua dan sering tak bisa mengingat nama-nama buyut dan cicitnya itu jalannya pun masih tegap. Subhanalloh, luar biasa.

Jika Tuhan memberi nenekku umur panjang dalam kondisi sehat, apakah ia masih bisa berkesempatan menimang canggah dan atau mungkin gantung siwurnya?

Aku teringat Alphi, salah satu cicit yang cukup dekat denganku dari sekian banyak cicit nenekku. Alphi dilihat secara garis keturunan ia adalah cucuku. Dalam istilah Sunda, Alphi terhadapku itu kami menyebutnya sebagai nini ti gigir.

Ah, Alphi kan laki-laki, mungkin ia tak akan segera berkeluarga. Bisa jadi nenek lebih dahulu menimang canggahnya jika Rosma, cicit nenekku yang lainnya (tahun ini lulus SLTA) cepat menikah dan segera mempunyai momongan.

Tapi tentu saja semua kembali kepada Yang Maha Pencipta. Jangankan beberapa tahun kedepan, beberapa detik kedepan saja kita tak tahu apa yang akan terjadi. Termasuk dengan kondisi nenekku yang telah bercicit banyak ini.

Hanya sepertinya ada rasa bangga jika nenek masih bisa menimang canggah (turunan ke-enam) dan atau gantung siwurnya (turunak ke-tujuh). Bisa jadi nenekku masuk calon nenek penerima penghargaan MURI, iya kan? Hehehe...

Sudah jarang kita temukan di jaman modern sekarang ini masih ada seorang lanjut usia masih bisa menimang buyut dan cicitnya. Lebih jauh lagi pada turunan berikutnya, canggah dan gantung siwur. Setelah itu, bukankah sudah tidak termasuk silsilah keluarga alias hanya dianggap sebagai leluhur/nenek moyang?

"Umi, selamat hari ibu, ya..." ucapan ibuku membuyarkan segala lamunan. Anak dan ibu bersalaman, sungkem dan berangkulan. Lalu hal serupa diikuti oleh anggota keluarga lainnya. Duh, suasananya membuatku terharu. Kesannya melebihi saat sungkeman hari raya lebaran yang sering aku lihat rekaman videonya setelah dikirimkan adikku ke Taiwan.

Sebenarnya tak perlu mengucapkan selamat pada hari-hari tertentu. Bukankah setiap hari pun ibu dan anak-anaknya tetap selamanya tak akan terpisahkan? Yang terpenting bagaimana kita memperlakukan ibu dan bagaimana intensitas perhatian kita terhadapnya. Tanpa hari ini pun, antara anak dan ibu tetap memiliki hari dan kebersamaan.

"وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَنَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ وَفِصَلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ |

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. LUQMAN:14)

Tak lupa kuucapkan selamat kepada para bapak, baik dari generasi saya ke atas, maupun ke bawah.

Silsilah kelyarga/keturunan ke atas : Aku, Ibu-Bapak, Kakek-Nenek, Buyut, Cicit, Canggah, Gantung siwur, Leluhur/Nenek moyang

Silsilah keluarga/keturunan ke bawah : Aku, Anak-mantu, Cucu, Buyut, Cicit, Canggah, Gantung siwur, Leluhur/Nenek moyang

Wahon = Mobil

Walanda = Belanda

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun