Mohon tunggu...
Tessa Sitorini
Tessa Sitorini Mohon Tunggu... -

Education Background > SMA 3 Bandung > Medical Faculty Padjadjaran University (Class of 96) ,eCornell 2010 Working Experiences: Jamsostek Clinic, PT Indorama, PT East West Seed, RS Asri, PT Meiji Indonesia, PT IDS Marketing Indonesia (Li & Fung Group)

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Euthanasia di Negeri Belanda

9 Februari 2014   15:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Praktik Euthanasia atau tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang yang dilakukan di negeri Belanda telah  banyak menimbulkan debat. Ada yang berpendapat bahwa praktik Euthanasia yang dilakukan di negeri kincir angin ini adalah model yang patut dijadikan percontohan di dunia, sementara ada yang percaya bahwa pratik Euthanasia di Belanda adalah terlalu bebas dan malah berpotensi bahaya.

Memang, hal yang berbeda tentang Euthanasia di Belanda adalah bahwa negeri ini menganut “active Euthanasia” artinya secara hukum permohonan seseorang yang kompeten untuk mengakhiri hidupnya dapat dikabulkan. Berdasarkan Dutch Penal Codes Article 293, 294 kegiatan euthanasia atau “assisted suicide” dilindungi oleh hukum dengan beberapa panduan yang ditetapkan oleh pengadilan di Rotterdam tahun 1981 sbb:

1.     Pasien harus dalam kondisi nyeri yang tidak tertahankan.

2.Pasien harusdalam keadaan sadar.

3.Permintaan mengakhiri hidup harus dilakukan secara sukarela.

4.Pasien harus diberikan alternatif selain euthanasia dan diberi waktu sebelum euthanasia dilakukan.

5.Tidak ada lagi solusi logis yang bisa dijalani.

6.Kematian pasien tidak menimbulkan penderitaan yang tidak diinginkan bagi yang lain.

7.Harus ada lebih dari satu orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan euthanasia.

8.Hanya dokter yang dapat melakukan euthanasia terhadap pasien.

9.Pendekatan yang baik harus dijalani

Dalam perkembangannya, tata laksana Euthanasia yang telah disusun oleh Pengadilan Belanda dan Royal Dutch Medical Association (KNMG) ini mengalami interpretasi yang beragam. Salah satu contohnya adalah  apa definisi “nyeri yang tidak tertahankan” hingga Pengadilan Negeri Den Haag mengeluarkan Hague Court of Appeal pada tahun 1986 dan menyatakan bahwa nyeri yang dimaksud tidak terbatas hanya nyeri secara fisik, akan tetapi juga termasuk penderitaan batin dapat dijadikan landasan untuk melakukan Euthanasia.

Dalam kurun 20 tahun terakhir, praktik euthanasia di Belanda menjadi memberikan banyak otoritas kepada dokter, seringkali keputusan apakah pasien seharusnya dipertahankan hidup atau dibiarkan mati ditentukan sepihak oleh dokter atau sekelompok dokter. Beberapa dokter memisahkan istilah “euthanasia” dengan “life-terminating treatment” untuk menghindari kematian pasien yang terklasifikasi dalam “euthanasia”, untuk akhirnya membebaskan dokter dari mengikuti aturan main pengambilan keputusan euthanasia dan keharusan melaporkan kematian kepada otoritas setempat. Salah satu kasus yang ramai dibicarakan dalam konferensi pada bulan Desember 1990 yang diselenggarakan oleh Institute for Bioethics di Maastricht, Belanda. ADalah seorang dokter dari The Netherlands Cancer Institute yang melaporkan adanya 30 kasus dalam setahun dimana dokter mengakhiri hidup pasien dengan diberikan suntikan morfin. Dokter itu berdalih bahwa kematian mereka bukan dikategorikan ke dalam “euthanasia” karena mereka tidak dilakukan dengan sukarela dan pada kasus tersbeut untuk mendiskusikan pilihan tersebut dianggap ‘kasar’ karena mereka dalam kondisi sakit yang tidak dapat disembuhkan (terminal).

Laporan Remmelink

Pada tanggal 10 September, 1991, untuk pertama kalinya dikeluarkan hasil penelitian yang dilakukan pemerintah terhadap praktik euthanasia di negeri Belanda. Rapor yang populer disebut The Remmelink Report ini disusun oleh Profesor J. Remmelink, seorang jaksa umum di the High Council of the Netherlands. Beberapa hasilnya adalah sbb:

·2.300 orang meninggal atas permintaan euthanasia (active, voluntary euthanasia)

·400orang meninggal karena dokter memberikan bantuan agar mereka dapat mengakhiri hidupnya sendiri (physician-assisted suicide)

·1.040 orang (rata-rata 3 per hari) meninggal karena involuntary euthanasia, artinya dokter yang melakukan tindakan tanpa seijin atau sepengetahuan pasien. Dari jumlah tersebut 14% pasien masih dalam keadaan kompeten, 72% tidak pernah memberikan indikasi bahwa merekaingin hidupnya diakhiri, 8% tetap dilakukan euthanasia walau masih ada alternatif pilihan yang memungkinkan.

·8.100 pasien meninggal karena dokter secara sengaja memberikan dosis tinggi obat anti nyeri bukan bertujuan untuk mengontrol nyeri, tapi untuk mempercepat kematian pasien. Dari jumlah tersebut, 61% kasus diberikan obet tanpa seijin pasien.

·Beberapa dokter di Belanda secara sengaja mengakhiri hidup sebanyak 11.840 pasien dengan memberikan suntikan dosis mematikan – angka itu berarti 9,1% dari angka kematian secara keseluruhan dalam setahun, yaitu sebanyak 113.000.

·Angka-angka tersebut belum termasuk ribuan kasus lainnya dimana terdapat penghentian atau penundaan terapi yang menunjang kehidupan tanpa seijin pasien dan mengakibatkan kematian. Angka itu juga belum termasuk kasus involuntary euthanasia yang dilakukan terhadap bayi yang mengalami cacat lahir, anak-anak dengan kondisi sakit berat atau pasien penyakit jiwa.

·Alasan yang sering diberikan sebagai alasan untuk mengakhiri hidup pasien tanpa seijin mereka adalah: “low quality of life”, “no prospect for improvement” atau “the family couldn’t take it anymore.”

·45% keluarga pasien tidak mengetahui bahwa kerabatnya sengaja diakhiri kehidupannya oleh dokter.

Tidak sedikit dokter di Belanda memalsukan penyebab kematian yang sebenarnya dengan menyatakan bahwa pasien meninggal secara alami, hal itu untuk menghindarkan dari membuat laporan tambahan dan ‘gangguan’ dari otoritas local. Oleh karena itu sebagaimana yang dikatakan oleh pengawas kesehatan dalam harian New York Times, “ pada akhirnya sistem ini tergantung kepada integritas dokter, bagaimana dan apa yang ia laporkan. “

Pada bulan Juli, 1992, Dutch Pediatric Association mengeluarkan panduan untuk mengakhiri hidup bayi yang terlahir cacat. Dr. Zier Versluys, ketua dari asosiasi Working Group on Neonatal Ethics mengatakan bahwa “Mengakhiri kehidupan dalam waktu dini lebih baik bagi orang tua atau anak yang bersangkutan.”

Ironinya selama Perang Dunia II, Belanda adalah satu-satunya negara yang diduduki Jerman yang para dokternya menolak melakukan program euthanasia, mereka menyadari bahwa dengan mengikuti program tersebut akan berarti kemunduran dalam melaksanakan tugas mereka untuk merawat pasien. Malcolm Muggeridge, seorang jurnalis dari Inggris memberikan komentarnya atas fakta ini dalam tulisannya yag berjudul “The Humane Holocaust” dan berkata, “ternyata untuk mengubah sesuatu dari kejahatan perang menjadi perbuatan kemanusiaan hanya dibutuhkan waktu beberapa dekade saja.” []

Sumber Bacaan:

1.Raphael Cohen-Almagor. “Why the Netherlands?” http://www.ethesis.net/cohen/Why_the_Netherlands.pdf

2.Euthanasia. http://en.wikipedia.org/wiki/Euthanasia

3.Background about Euthanasia in the Netherlands. http://www.patientsrightscouncil.org/site/holland-background/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun