Ungkapan "yang penting bersyukur" sering kali terdengar sebagai penenang dalam menghadapi hidup yang tidak mudah. Ketika keadaan tidak sesuai harapan, banyak orang memilih untuk menunduk dan menerima.
Bersyukur menjadi simbol ketabahan, bahkan kekuatan. Tapi di sisi lain, tak sedikit yang sebenarnya hanya sedang bertahan---menyembunyikan kelelahan di balik kata "ikhlas."
Dalam kehidupan yang semakin menuntut, batas antara rasa syukur dan sikap bertahan sering kali kabur. Keduanya bisa tampak serupa dari luar, tapi secara emosional dan mental, keduanya sangat berbeda.Â
Apakah kita benar-benar bersyukur atau sedang menahan diri untuk tidak menyerah?
Bersyukur: Kesadaran atau Pengalihan?
Bersyukur adalah kemampuan melihat sisi baik dari situasi, bukan karena menyangkal kesulitan, tapi karena memilih untuk tetap menghargai apa yang dimiliki. Ini adalah proses aktif yang memerlukan kesadaran penuh.Â
Orang yang bersyukur tidak memaksakan diri untuk selalu bahagia, tapi bisa mengakui rasa lelah sambil tetap menghargai hal-hal kecil yang berarti.
Namun, dalam praktiknya, ungkapan syukur kadang menjadi bentuk pengalihan. Alih-alih menghadapi perasaan marah, kecewa, atau lelah, seseorang langsung melompat ke "setidaknya aku masih punya ini" sebagai cara untuk menekan emosi yang belum selesai diproses. Dalam jangka pendek, hal ini bisa membantu.Â
Tapi jika terus-menerus digunakan sebagai mekanisme pelarian, maka rasa syukur itu bisa kehilangan maknanya dan berubah menjadi bentuk pengabaian terhadap diri sendiri.
Budaya sosial juga ikut memengaruhi. Banyak orang merasa tidak enak jika mengeluh, karena khawatir dicap kurang bersyukur. Akibatnya, mereka memilih diam, menerima, dan terus bertahan bukan karena benar-benar ikhlas, tapi karena merasa tidak punya ruang untuk jujur pada diri sendiri.