"Yang penting masih ada kerjaan."
Kalimat itu mungkin sudah jadi doa sekaligus penenang paling populer di kalangan pekerja muda Indonesia hari ini.Â
Di tengah tingginya angka pengangguran dan ketidakpastian ekonomi, siapa yang tak merasa perlu bersyukur?Â
Tapi di balik rasa syukur itu, terselip satu pertanyaan yang terus-menerus mengganggu pikiran. Kalau kerja keras tak juga cukup buat hidup layak, masih pantaskah diam dan bersyukur?
Realita di lapangan menunjukkan paradoks: banyak anak muda bekerja penuh waktu, bahkan lebih dari satu pekerjaan, tapi penghasilan mereka belum tentu cukup untuk membayar kontrakan, makan bergizi, apalagi menabung.Â
Sebagian bekerja sebagai freelance tanpa jaminan kesehatan, tanpa kepastian bulanan, dan tetap dianggap "beruntung" karena tidak menganggur.Â
Tapi kalau pekerjaan tak bisa memenuhi kebutuhan dasar, apa yang sebenarnya sedang kita syukuri?
Narasi Bersyukur yang Menumpulkan Kesadaran Kelas
Budaya bersyukur memang penting. Ia bisa menjaga kewarasan di tengah keterbatasan.Â
Tapi dalam konteks kerja dan ekonomi, narasi ini bisa jadi alat penjinakan yang ampuh. Ketika orang disuruh terus bersyukur tanpa boleh mengeluh, mereka cenderung menerima kondisi kerja yang tidak adil seolah-olah kemiskinan itu takdir, bukan akibat dari struktur yang timpang.