Kemajuan digitalisasi di Indonesia membuat kita pasti berlomba-lomba membangun personal branding yang kuat.
Semuanya terlihat rapi, estetik, dan penuh pencapaian. Feed Instagram seperti katalog kesuksesan, profil LinkedIn dipoles agar tampak profesional, dan konten TikTok disesuaikan dengan tren agar masuk FYP.Â
Tidak salah memang. Personal branding memang bisa membuka peluang. Mulai dari pekerjaan, kolaborasi, hingga influence banyak orang.
Tapi ada satu hal yang sering terlewatkan dalam proses membangun citra diri, seperti keaslian.
Banyak yang terjebak ingin terlihat seperti orang lain karena orang lain sudah merasakan "suksesnya" duluan. Mereka meniru gaya bicara, berpakaian, bahkan cara berpikir demi terlihat "masuk pasar."
Akhirnya, branding yang dibangun malah jadi topeng, bukan cerminan diri. Padahal personal branding bukan akting yang terus-menerus dimainkan, melainkan proses menampilkan versi terbaik dari diri sendiri tanpa kehilangan esensi.
Bukan Tentang Meniru, Tapi Mengenali Diri
Salah satu kesalahan umum dalam membangun personal branding adalah merasa harus menjadi orang yang sangat berbeda dari diri sendiri.Â
Kita melihat seseorang sukses dengan gaya tertentu, lalu buru-buru mengadopsinya. Misalnya, seseorang sukses karena terlihat humoris dan ceplas-ceplos, padahal kamu pribadi yang tenang dan reflektif. Atau seseorang dikenal karena estetika feed-nya yang pink dan girly, lalu kamu mencoba hal serupa walau sebenarnya kamu tidak nyaman.
Meniru bisa jadi langkah awal belajar, tapi kalau keterusan, kamu bisa kehilangan arah. Masakan kamu malah menjadi versi duplikat dari orang lain? Padahal, esensi personal branding yang kuat justru terletak pada keaslian. Orang-orang lebih mudah terhubung dengan sosok yang terasa real, bukan sekadar pencitraan.