Dulu, media sosial adalah tempat berbagi momen sehari-hari seperti berbagi foto liburan, status galau, atau video iseng bareng teman.
Kita mengikuti akun orang yang kita kenal, berinteraksi karena merasa dekat, dan sesekali bertemu cerita yang menginspirasi tanpa dibumbui iklan atau link belanja.Â
Kini, semua terasa berbeda. Yang muncul di linimasa bukan lagi kabar teman, tapi konten yang dioptimasi untuk algoritma dan diselipi afiliasi.Â
Transformasi ini tidak terjadi tiba-tiba. Pelan-pelan, media sosial bergeser dari ruang sosial ke ruang komersial.Â
Feed yang dulu penuh kisah kini dipenuhi promosi, dan percakapan personal berubah menjadi ajakan untuk membeli sesuatu.Â
Dari yang awalnya jadi tempat untuk merasa terhubung, kini media sosial sering kali membuat kita merasa ditargetkan.
Komunikasi Personal yang Bergeser Arah
Perubahan ini tak lepas dari munculnya budaya monetisasi digital, terutama lewat influencer dan afiliator.Â
Banyak pengguna media sosial, baik individu maupun brand, menyadari bahwa atensi adalah mata uang. Mereka lalu berlomba-lomba menciptakan konten yang engaging, bukan untuk berbagi, tapi untuk menjual secara halus atau terang-terangan.
Komunikasi yang tadinya organik berubah menjadi strategis. Caption yang dulu spontan, kini ditulis dengan CTA (call to action) seperti "langsung klik link di bio ya!" atau "pakai kode diskon aku biar lebih hemat".
Bahkan hubungan pertemanan pun kadang dilibatkan: kita jadi merasa bersalah kalau tidak beli produk teman sendiri. Konten yang terlihat "jujur" atau "relatable" sering kali hanyalah bentuk baru dari persuasi yang dikemas rapi.