Lulus kuliah sering kali dianggap sebagai gerbang menuju kehidupan “nyata”. Bagi banyak fresh graduate, kenyataannya justru dimulai dengan penantian panjang yang melelahkan.
Di balik toga, foto wisuda, dan ucapan “selamat”, ada kekosongan yang tak semua orang lihat; kekosongan berupa ketidakpastian, rasa cemas, dan hari-hari yang berputar antara scroll lowongan kerja dan menunggu balasan yang tak kunjung datang.
Status “nganggur” bukan sekadar label, melainkan kondisi mental yang kompleks. Di satu sisi, ada keinginan besar untuk mandiri, bekerja, dan membuktikan diri.
Di sisi lain, ada realita pasar kerja yang semakin sempit, persaingan yang ketat, dan tuntutan dunia profesional yang seolah tak memberi ruang bagi yang baru mulai belajar.
Ini bukan tentang tidak mau bekerja, melainkan tentang tidak diberi kesempatan.
Dilema di Antara Harapan dan Realita
Sebagian besar dari kita dibesarkan dengan narasi bahwa pendidikan adalah kunci menuju masa depan yang cerah.
Maka, wajar jika banyak fresh graduate merasa kecewa ketika ternyata ijazah saja tidak cukup untuk membuka pintu-pintu kesempatan.
Banyak lowongan kerja yang bahkan menuntut pengalaman dua tahun untuk posisi entry-level. Sementara itu, program magang atau freelance kadang dibayar minim, atau bahkan tidak dibayar sama sekali.
Tak jarang, fresh graduate harus menerima komentar seperti “terlalu pilih-pilih kerjaan” atau “coba aja apa dulu, yang penting kerja”.