Bagi banyak anak muda saat ini, kata “cicilan” bukan lagi momok yang menakutkan.
Justru sebaliknya, cicilan terasa seperti pintu masuk menuju kemerdekaan finansial atau setidaknya kemerdekaan untuk punya barang sekarang dan bayar belakangan.
Dari ponsel terbaru, laptop untuk kerja freelance, hingga liburan ke luar negeri, semuanya bisa dicicil.
Tapi di balik kemudahan itu, ada satu pertanyaan penting: apakah anak muda sedang menyicil impian atau justru menunda utang yang bisa membebani masa depan?
Generasi sekarang hidup di tengah gempuran promosi beli-sekarang-bayar-nanti. Teknologi keuangan membuat proses pengajuan cicilan semudah scroll layar.
Hanya dengan beberapa klik, barang impian bisa langsung mendarat di rumah. Namun, seiring meningkatnya konsumsi, kesadaran tentang tanggung jawab finansial kadang tertinggal di belakang.
Inilah saatnya kita merenungkan kembali seperti apa sebenarnya mindset kita terhadap cicilan?
Cicilan sebagai Gaya Hidup: Realita atau Ilusi?
Ada dua sisi dari cicilan yang perlu dipahami. Di satu sisi, cicilan bisa jadi alat finansial yang bijak.
Misalnya, kamu butuh laptop untuk kerja dan cicilan nol persen bisa jadi solusi. Tapi di sisi lain, cicilan juga bisa menjadi jebakan halus.
Semakin mudah diakses, semakin sulit juga untuk mengatakan tidak.