Tidak ada yang benar-benar siap. Tidak juga mereka yang terlihat percaya diri saat datang ke wawancara, atau mereka yang profil LinkedIn-nya tampak sempurna.
Banyak dari kita melamar kerja sambil membawa rasa takut yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Rasanya seperti berjalan dengan batu kecil di dalam sepatu: kecil, nyaris tak terlihat, tapi cukup mengganggu setiap langkah. Namun, anehnya, kita tetap berjalan.
Ketakutan dalam proses mencari kerja bukanlah hal yang sepele.
Ia bisa muncul dalam banyak bentuk: takut gagal, takut ditolak, takut terlihat bodoh saat wawancara, takut tidak memenuhi ekspektasi keluarga, apalagi takut akan masa depan yang tak pasti.
Dalam diam, banyak pelamar kerja yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti “Apa aku cukup baik?”, “Kenapa belum ada yang panggil?”, "Apa aku banyak melakukan kesalahan?", atau “Kalau ditolak lagi, harus mulai dari mana?”
Dalam dunia yang begitu cepat dan penuh tuntutan, proses melamar kerja terasa seperti kompetisi tanpa garis akhir.
Setiap lowongan terasa seperti rebutan, dan setiap notifikasi dari email bisa membawa harapan sekaligus kecemasan.
Bahkan sebelum klik tombol “apply”, kita sering kali sudah berdebat dengan diri sendiri: apakah ini pekerjaan yang tepat? Apakah aku terlalu nekat? Apakah aku terlihat putus asa?
Tapi menariknya, di balik semua ketakutan itu, ada satu hal yang membuat kita tetap bertahan: harapan.
Harapan bahwa ada tempat yang bisa menerima kita apa adanya. Harapan bahwa pengalaman kita, meski belum banyak, cukup untuk membuka satu pintu. Harapan bahwa semua usaha, CV yang ditulis ulang berkali-kali, portofolio yang dibangun tengah malam, akan membuahkan hasil.