Pendidikan seharusnya menjadi pondasi yang kokoh dan berkelanjutan bagi masa depan bangsa. Namun di Indonesia, wajah pendidikan kerap berubah mengikuti siapa yang duduk di kursi Menteri Pendidikan.Â
Terlihat pada keberlanjutan dan pemerataan kualitas, sistem pendidikan kita justru kerap dipenuhi jargon baru setiap lima tahun sekali. Kurikulum berubah, pendekatan pengajaran dirombak, dan istilah-istilah segar bermunculan. Namun akar persoalan tetap saja belum tersentuh.
Dari siswa, guru, hingga orang tua, semuanya ikut terseret dalam arus perubahan yang sering kali terasa tergesa-gesa. Anak-anak didik dipaksa beradaptasi dengan sistem yang belum tentu dipahami sepenuhnya oleh para pengajarnya.Â
Sementara itu, guru dibebani pelatihan demi pelatihan, yang belum tentu relevan dengan kondisi di lapangan. Di tengah semua perubahan ini, pertanyaan penting pun muncul: apakah pendidikan Indonesia sungguh dibentuk untuk kebutuhan siswa atau hanya jadi cermin ambisi dan proyek politis setiap pemegang jabatan?
Ganti Menteri, Ganti Gaya Sistem Pendidikan
Sejak era reformasi, Indonesia telah beberapa kali mengganti kurikulum: dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, kemudian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi COVID-19, dan kini Kurikulum Merdeka. Masing-masing datang dengan narasi ideal yang meyakinkan. Ada yang menekankan kompetensi, ada yang fokus pada karakter, ada pula yang membebaskan guru memilih materi sesuai konteks.
Namun, di balik kemasan manis setiap perubahan itu, muncul pertanyaan besar: untuk siapa kurikulum ini dibuat? Apakah benar-benar demi masa depan siswa atau sekadar bagian dari proyek lima tahunan kementerian?
Kementerian Pendidikan, sebagai institusi yang seharusnya menjamin keberlanjutan dan kualitas pendidikan, tampak terlalu bergantung pada visi seorang menteri. Setiap kali ganti pemimpin, kurikulum seakan di-reset, bahkan sebelum kurikulum sebelumnya sempat benar-benar diterapkan secara merata. Hal ini menyebabkan kebingungan di lapangan. Guru-guru harus terus belajar ulang, menyesuaikan metode, menyusun ulang RPP, sementara siswa harus menyesuaikan diri dengan sistem yang belum tentu mereka pahami.
Guru dan Siswa Jadi Korban Ketidakpastian
Perubahan kurikulum seharusnya dilakukan dengan matang, berdasarkan riset yang mendalam dan evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum sebelumnya. Namun yang terjadi di Indonesia sering kali sebaliknya. Uji coba terburu-buru, pelatihan guru yang tidak merata, hingga infrastruktur yang belum siap kerap menjadi kendala utama. Alhasil, guru bukan hanya menjadi pengajar, tapi juga menjadi "korban" kebijakan yang berubah-ubah.