Di era digital, banyak hal bisa dicari dengan cepat termasuk informasi soal kesehatan mental.Â
Cukup ketik gejala yang dirasakan di mesin pencarian atau tonton satu-dua video dari konten kreator yang membahas kesehatan jiwa, seseorang bisa merasa mendapatkan "jawaban" atas apa yang sedang ia alami.Â
Tak sedikit yang akhirnya menyimpulkan sendiri diagnosisnya, tanpa bantuan profesional. Inilah yang disebut sebagai self-diagnose, atau mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang tersedia di internet.
Fenomena ini semakin umum terjadi, khususnya di kalangan anak muda dan remaja. Di satu sisi, hal ini menunjukkan adanya kesadaran baru terhadap pentingnya kesehatan mental.Â
Tapi di sisi lain, self-diagnose juga bisa menjadi bumerang, terutama jika dilakukan tanpa pengetahuan yang memadai dan justru memperburuk overthinking.Â
Ketika seseorang terlalu fokus mencari tahu "penyakitnya", ia bisa terjebak dalam siklus kekhawatiran berlebihan dan salah paham terhadap dirinya sendiri. Komunikasi digital yang awalnya diharapkan memberi pencerahan, justru menambah kebingungan.
Media Sosial Memperkuat Bias Kognitif dan Generalisasi
Salah satu sumber utama dari tren self-diagnose adalah media sosial.Â
Banyak akun atau influencer yang berbagi konten tentang gangguan mental dari ADHD, anxiety, hingga bipolar dengan bentuk format yang sangat relatable.Â
Mereka menggunakan bahasa yang ringan, pendek, dan mudah dipahami. Akibatnya, banyak orang merasa terhubung dan langsung mengaitkan konten tersebut dengan dirinya.Â