Kopi pagi biasanya jadi teman setia membuka hari. Tapi bisa saja aroma kopi terasa semakin kuat bukan karena bijinya yang spesial, melainkan karena stres yang menyertainya.Â
Banyak dari kita memulai hari dengan kopi, tapi menutupnya bukan dengan tidur nyenyak, melainkan dengan balasan email yang tertunda. Pertanyaannya, apakah kita memang sedang rajin, atau justru sedang terjebak dalam budaya hustle?
Budaya hustle, atau sering juga disebut budaya kerja tanpa henti, semakin marak digaungkan terutama sejak media sosial penuh dengan kutipan motivasi macam "grind now, shine later" atau "kalau belum capek, berarti belum sukses."Â
Motivasi semacam itu memang terasa membakar semangat di awal, tapi lama-lama bisa membakar tenaga juga dan bukan dalam artian yang sehat.
Saat Batas Antara Hidup dan Kerja Mulai Kabur
Dulu, pulang kerja berarti benar-benar pulang. Tapi sekarang, notifikasi kerja bisa mampir kapan saja. Bahkan saat sedang rebahan nonton drama Korea. WFH yang awalnya jadi harapan banyak orang, ternyata menghadirkan dilema baru: kapan waktu kerja berakhir dan kapan kehidupan pribadi dimulai?
Tidak sedikit yang merasa bersalah saat mengambil waktu istirahat. Rasanya seperti harus selalu "on", seolah ada yang mengintai dari balik layar untuk melihat siapa yang paling rajin dan responsif. Akibatnya, laptop tetap menyala meski langit sudah gelap, dan kepala tetap sibuk meski tubuh sudah rebah.
Fenomena ini bukan hanya soal manajemen waktu, tapi juga soal ekspektasi sosial. Dalam budaya hustle, keberhasilan sering diukur dari seberapa sibuk seseorang terlihat. Makin banyak proyek, makin sering begadang, makin sering upload "kerja sambil traveling", makin dianggap sukses. Padahal, kenyataannya bisa jadi sebaliknya lelah, kosong, dan tidak tahu lagi kenapa semua ini dijalani.
Membebaskan Diri dari Hustle Tanpa Harus Jadi Pemalas
Berhenti dari budaya hustle bukan berarti Anda menjadi pemalas atau kehilangan ambisi.Â